Perbandingan Pendidikan Karakter di Jepang dan Finlandia pada Pendidikan Dasar dan Anak Usia Dini

Oleh ICEI
Pendidikan dan Pengajaran
Perbandingan Pendidikan Karakter di Jepang dan Finlandia pada Pendidikan Dasar dan Anak Usia Dini

Pendahuluan

Pendidikan karakter merupakan upaya pembentukan nilai, moral, dan perilaku positif pada peserta didik sejak usia dini. Setiap negara memiliki pendekatan berbeda dalam mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum. Jepang mewakili pendekatan Timur yang sangat menekankan kedisiplinan kolektif dan moralitas kelompok, sedangkan Finlandia mewakili pendekatan Barat yang menekankan kesejahteraan anak, kemandirian, dan nilai-nilai demokratis. Laporan ini membandingkan hasil penelitian mengenai bagaimana pendidikan karakter diajarkan di Jepang dan Finlandia pada jenjang pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar, serta dampak jangka panjangnya terhadap siswa. Perbandingan ini didasarkan pada bukti ilmiah dari jurnal terindeks (Scopus/Web of Science), disertai tabel ringkasan perbedaan.

Pendidikan Karakter di Jepang (Pendekatan Timur)

Implementasi dan Metode Pengajaran

Sejak Usia Dini: Jepang telah lama menerapkan pendidikan karakter mulai dari taman kanak-kanak. Sejak tahun 1970-an, kurikulum berbasis karakter diterapkan di jenjang TK dan SD. Pada pendidikan anak usia dini, fokusnya adalah menumbuhkan karakter unggul seperti keberanian, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kemampuan bekerjasama, dan Bersosialisasi. Penanaman nilai- nilai tersebut tidak melalui mata pelajaran khusus, melainkan diintegrasikan dalam kegiatan sehari- hari di kelas. Artinya, moral dan pembentukan kepribadian diajarkan lewat rutinitas harian anak – misalnya anak dilatih antre, merapikan mainan, menyapa teman, dan belajar mandiri dalam aktivitas sehari-hari di sekolah. Hal ini konsisten dengan budaya Jepang yang meyakini anak kecil ibarat kertas putih (masshiro) yang perilakunya sangat dibentuk oleh lingkungan dan pendidikan sejak dini.

Sekolah Dasar: Di SD, Jepang memiliki kebijakan pendidikan moral (dōtoku) sebagai bagian integral kurikulum nasional di setiap tingkat kelas. Pendidikan moral ini awalnya berupa jam pelajaran khusus seminggu sekali, namun esensinya tidak hanya diajarkan terpisah, melainkan diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan kegiatan sekolah. Materi dōtoku mencakup empat aspek nilai utama: (a) nilai terhadap diri sendiri (kebijaksanaan, kerja keras, keberanian, kejujuran, ketertiban, kemandirian), (b) nilai dalam hubungan antar sesama (sopan santun, kebaikan hati, persahabatan, menghargai orang lain, berterima kasih), (c) nilai terkait alam (cinta alam, menghargai kehidupan, kepekaan estetis), dan (d) nilai berkehidupan bermasyarakat (menepati janji, menjalankan tanggung jawab sosial, keadilan tanpa diskriminasi, gotong royong dan tanggung jawab, menghargai kerja keras, cinta tradisi dan tanah air, serta toleransi terhadap budaya lain). Nilai-nilai moral ini tidak dinilai dengan ujian akademis, tetapi ditanamkan melalui berbagai kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler.

Metode “Learning by Doing” dan Kegiatan Khusus: Guru-guru di Jepang menerapkan prinsip belajar melalui praktik langsung (learning by doing) dalam pendidikan karakter. Misalnya, siswa SD diajarkan keterampilan hidup seperti cara menyeberang jalan yang aman, etiket di dalam kereta atau tempat umum, dan praktik membuang sampah pada tempatnya. Setiap hari, di sekolah Jepang terdapat tokubetsu katsudō (kegiatan khusus atau tokkatsu) berupa aktivitas non-akademik untuk pembentukan karakter. Contohnya, siswa membersihkan ruang kelas dan fasilitas sekolah bersama-sama, merawat tanaman, menyajikan makan siang untuk teman sekelas, serta terlibat dalam kegiatan kelas dan majelis sekolah. Kegiatan harian seperti osōji (gotong royong bersih-bersih) melatih tanggung jawab, kerjasama, dan rasa hormat terhadap lingkungan sekolah. Guru kelas berperan besar sebagai pembimbing karakter – guru sering mengangkat kasus pelanggaran kecil sehari-hari untuk didiskusikan bersama siswa dan mencari solusinya, sehingga siswa belajar nilai moral secara kontekstual. Pendekatan partisipatif ini membuat pendidikan moral tertanam dalam pengalaman nyata, bukan sekadar teori di buku. Selain itu, kultur sekolah Jepang mendukung kemandirian sejak dini: banyak siswa pergi ke sekolah berjalan kaki atau bersepeda tanpa diantar orang tua, membiasakan tanggung jawab dan kemandirian pribadi.

Dampak dan Hasil Jangka Panjang di Jepang

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pendekatan pendidikan karakter di Jepang berdampak pada pembentukan perilaku sosial jangka panjang. Secara umum, masyarakat Jepang dikenal memiliki karakter unggul seperti etos kerja keras, disiplin tinggi, kejujuran, inovatif, dan tertib – reputasi ini dikaitkan dengan keberhasilan penanaman pendidikan karakter sejak usia dini. Studi ilmiah pun mendukung pengaruh jangka panjang pendidikan karakter Jepang. Sebagai contoh, pengalaman bekerja dalam kelompok (cooperative learning) yang sangat lazim di sekolah dasar Jepang terbukti memiliki konsekuensi hingga dewasa. Sebuah studi longitudinal (Kubota dkk., 2019) menemukan bahwa siswa yang sewaktu SD sering terlibat kerja kelompok menunjukkan sikap dewasa yang lebih altruistis dan kooperatif, serta lebih mengutamakan hubungan humanis dalam hidupnya. Mereka cenderung memiliki kepuasan tinggi dalam hal relasi sosial ketika dewasa, menunjukkan keberhasilan pendidikan karakter dalam menumbuhkan empati dan kerjasama.

Namun, studi yang sama juga mencatat beberapa efek samping: pengalaman kelompok yang kuat di SD berkorelasi negatif dengan keterampilan kognitif dan pencapaian ekonomi individu di kemudian hari. Artinya, lulusan yang dibesarkan dengan budaya belajar sangat kolaboratif cenderung sedikit lebih rendah dalam pencapaian akademik formal atau pendapatan dibanding rekan yang lebih berfokus individu. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan signifikan dalam kepuasan hidup secara keseluruhan antara kelompok tersebut, karena tingginya kepuasan pada aspek hubungan sosial berhasil mengimbangi sedikit penurunan pada aspek ekonomi. Temuan ini sejalan dengan tujuan pendidikan karakter di Jepang yang memang lebih menekankan pembentukan moral sosial ketimbang kompetisi individual. Selain itu, indikator lain keberhasilan jangka panjang adalah lingkungan sekolah dan masyarakat Jepang yang relatif aman dan tertib. Budaya sekolah yang menanam disiplin dan tanggung jawab kolektif sejak kecil berkontribusi pada rendahnya kenakalan remaja dan terbiasanya generasi muda Jepang untuk mematuhi norma sosial. Dengan demikian, pendidikan karakter ala Jepang berdampak positif pada kohesi sosial dan etos kerja generasi mudanya, meskipun mungkin dengan sedikit kompromi pada aspek kreativitas individual atau pencapaian material menurut beberapa penelitian.

Pendidikan Karakter di Finlandia (Pendekatan Barat)

Implementasi dan Pendekatan Pengajaran

Filosofi Holistik dan Nilai Demokratis: Finlandia tidak memiliki mata pelajaran khusus bernama “pendidikan karakter”, tetapi nilai-nilai karakter diintegrasikan secara menyeluruh dalam kurikulum dan budaya sekolah. Kerangka kurikulum nasional Finlandia menekankan transversal competences (kompetensi lintas-kurikuler) yang mencakup pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap, dan kehendak yang harus dikembangkan di semua pelajaran. Sejak pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah dasar, nilai-nilai etika dan moral ditanamkan melalui konsep hak anak, kesetaraan, demokrasi, dan kemandirian. Kurikulum PAUD Finlandia secara eksplisit berlandaskan Konvensi PBB tentang Hak Anak, menjamin setiap anak diperlakukan dengan hormat dan diberi kesempatan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Nilai demokratis sangat dijunjung: anak didorong menyuarakan pendapat, dilibatkan dalam pengambilan keputusan sederhana, dan diajarkan hak serta kewajibannya sebagai bagian dari komunitas sejak kecil. Tujuannya adalah menumbuhkan individu yang aktif, bertanggung jawab, dan peduli terhadap komunitasnya, sebagai landasan masa depan masyarakat yang berkelanjutan dan demokratis.

Pembelajaran Inklusif dan Kontekstual: Dalam praktiknya, pendidikan karakter di Finlandia tertanam di semua aktivitas pembelajaran. Tidak ada kelas wajib khusus “moral education” seperti di Jepang, tetapi materi etika dan moral disampaikan melalui pelajaran lain, misalnya melalui pelajaran agama atau etika sekuler dan kewarganegaraan. Sekolah Finlandia mengajarkan prinsip moral universal (seperti dari Deklarasi HAM) lewat kurikulum agama/etika dan pendidikan kewarganegaraan. Bagi siswa yang tidak mengambil kelas agama (misalnya non-Lutheran), pelajaran “Etika” diberikan yang mencakup diskusi moral, nilai kemanusiaan, dan filosofi. Selain itu, guru Finlandia mengintegrasikan topik seperti kejujuran, kerjasama, dan kepedulian dalam tugas kelompok, proyek tematik, maupun aturan keseharian kelas. Pendekatan sekolah inklusif juga merupakan kunci: hampir semua anak, termasuk yang berkebutuhan khusus, belajar dalam kelompok kelas reguler dengan dukungan tambahan jika perlu, sehingga sejak dini siswa belajar nilai toleransi, empati, dan saling membantu dalam lingkungan beragam.

Peran Guru dan Iklim Sekolah: Faktor penting dalam keberhasilan Finlandia adalah tingginya profesionalitas dan otonomi guru, yang dipandang sebagai teladan karakter bagi siswa. Guru-guru Finlandia diseleksi ketat dan dilatih dengan standar tinggi, sehingga sangat dihormati dan dipercaya oleh masyarakat. Pemerintah dan orang tua memberikan kepercayaan besar (trust) kepada guru untuk mendidik anak, tanpa pengawasan berlebihan atau tekanan ujian standar. Iklim kepercayaan ini memungkinkan guru bebas berinovasi menanamkan nilai karakter melalui metode yang mereka anggap sesuai, seperti diskusi reflektif, pembelajaran kooperatif, atau proyek kolaboratif. Di kelas, penekanan pada kerjasama daripada kompetisi sangat kuat. Anak Finlandia sejak SD sering mengerjakan proyek berkelompok lintas mata pelajaran (phenomenon-based learning), yang membuat mereka belajar kemampuan sosial, komunikasi, dan pemecahan masalah secara tim. Misalnya, suatu sekolah mengajak siswa 10 tahun bekerjasama dengan arsitek lokal membangun jembatan kecil untuk komunitas, di mana siswa belajar matematika, sains, dan seni sambil mengasah kerjasama dan kontribusi nyata pada masyarakat. Contoh lain, di banyak sekolah diadakan “buddy system” yang memasangkan siswa tua dan muda dalam kegiatan membaca atau proyek, sehingga tumbuh rasa tanggung jawab, menghormati yang lebih tua/menyayangi yang lebih muda, serta kerjasama lintas usia. Secara keseluruhan, budaya sekolah Finlandia sangat berpusat pada siswa dan kesejahteraannya, dengan slogan “sekolah harus menyesuaikan dengan kebutuhan anak, bukan sebaliknya”.

Fokus pada Kesejahteraan (Well-being) dan Lingkungan Pendukung: Pendidikan karakter di Finlandia erat kaitannya dengan menjaga kesejahteraan holistik anak. Sekolah tidak semata tempat belajar akademis, tetapi juga komunitas yang memastikan kesehatan, kebahagiaan, dan keamanan siswa terpenuhi. Setiap sekolah menyediakan makan siang sehat gratis, pemeriksaan kesehatan rutin, konseling, serta lingkungan yang ramah anak. Anti-bullying juga menjadi bagian dari pendidikan karakter: Finlandia memiliki program KiVa yang terkenal dalam mencegah dan menangani perundungan di sekolah. Program ini mengajarkan empati, keberanian membela yang lemah, dan kultur kelas yang saling menghargai. Implementasi KiVa secara nasional sejak 2009 terbukti efektif – dalam uji coba terkontrol, rata-rata kasus bullying berkurang sekitar 20% di sekolah-sekolah yang menerapkan KiVa dibanding yang tidak. Program ini juga meningkatkan sikap anti-bullying di kalangan siswa, seperti menumbuhkan empati dan kepedulian terhadap korban. Upaya seperti ini menunjukkan bahwa nilai karakter (kepedulian, keberanian moral) disampaikan lewat aksi nyata menjaga kesejahteraan siswa sehari-hari. Dengan dukungan kebijakan yang kuat (misalnya layanan kesehatan mental remaja terintegrasi, jam pelajaran lebih singkat untuk memberi waktu bermain, dsb), sekolah-sekolah di Finlandia memprioritaskan perkembangan emosional dan sosial anak sejalan dengan akademik.

Dampak dan Hasil Jangka Panjang di Finlandia

Pendekatan Finlandia yang holistik dan berorientasi pada kesejahteraan menghasilkan dampak jangka panjang yang diakui secara global. Dari segi pencapaian akademis, siswa Finlandia konsisten meraih hasil tinggi dalam asesmen internasional (seperti PISA) bersamaan dengan tingkat stres akademis yang relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa fokus pada karakter dan kesejahteraan tidak menghambat prestasi, justru sebaliknya – berkontribusi pada kesuksesan jangka panjang. Pasi Sahlberg, pakar pendidikan Finlandia, mencatat bahwa prinsip utama kebijakan pendidikan Finlandia sejak 1990-an adalah menyediakan kesempatan belajar yang setara dan pengalaman sekolah yang positif bagi semua anak, dengan menomorsatukan kesejahteraan mereka. Hasilnya, nutrisi, kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan menjadi bagian tak terpisahkan dari sekolah-sekolah di Finlandia, dan pendekatan ini berjalan beriringan dengan keunggulan hasil belajar. Finlandia berhasil membuktikan bahwa excellence dapat dicapai bersamaan dengan equity – sistem pendidikannya menghasilkan lulusan berprestasi tinggi secara akademis sekaligus berkarakter peduli dan seimbang, dengan kesenjangan yang kecil antar kelompok sosial.

Dari sisi perkembangan karakter, siswa Finlandia umumnya tumbuh menjadi individu yang mandiri, percaya diri, dan memiliki social skills yang baik. Survei kesejahteraan remaja menunjukkan anak- anak Finlandia melaporkan tingkat kepuasan hidup yang tinggi di antara negara-negara Eropa  , dan para remaja merasa sekolah mereka mendukung kebutuhan mereka sebagai individu (tidak semata mengejar nilai akademik). Budaya trust yang ditanam di sekolah – misalnya hubungan guru-murid yang egaliter dan saling menghormati – turut tercermin pada masyarakat luas. Penelitian menunjukkan bahwa “budaya percaya” dalam sekolah Finlandia berkontribusi pada tingginya kepercayaan sosial secara umum dalam masyarakat. Lulusan sekolah Finlandia terbiasa berada dalam lingkungan yang kolaboratif dan menghargai, sehingga cenderung membawa nilai-nilai tersebut ke dunia kerja dan kehidupan dewasa. Tingkat partisipasi pemuda dalam demokrasi dan kegiatan sosial di Finlandia juga termasuk tinggi, sejalan dengan pendidikan sejak dini yang menekankan partisipasi aktif dan rasa tanggung jawab warga. Selain itu, upaya kuat melawan perundungan melalui program karakter seperti KiVa menghasilkan lingkungan sekolah yang lebih aman dan menurunkan angka bullying secara signifikan (~20%), yang berarti generasi muda Finlandia belajar untuk tidak toleran terhadap kekerasan dan lebih empatik terhadap sesama.

Secara keseluruhan, dampak jangka panjang pendidikan karakter di Finlandia tampak dalam terbentuknya generasi yang sehat secara mental, beretika, dan bahagia, tanpa mengorbankan kecakapan akademis. Finlandia sering disebut sebagai “negara paling bahagia di dunia” dan hal ini dikaitkan dengan sistem pendidikannya yang mendidik anak bahagia tapi tetap berprestasi. Dengan demikian, pendekatan Barat (Finlandia) menunjukkan bahwa membangun karakter dapat berjalan harmonis dengan pencapaian akademik dan kesejahteraan hidup di masa depan.

Perbandingan Pendidikan Karakter: Jepang vs Finlandia

Berikut adalah perbandingan terstruktur antara pendekatan pendidikan karakter di Jepang dan Finlandia pada jenjang anak usia dini dan sekolah dasar, berdasarkan temuan penelitian:

Aspek

Jepang (Timur)

Finlandia (Barat)

Mulai Diterapkan Sejak

Usia dini (TK) – program karakter sudah masuk kurikulum sejak kindergarten.

Usia dini (Daycare/TK) – pendidikan holistik dengan penekanan hak anak dan nilai demokrasi sejak PAUD.

Struktur Kurikulum

Ada pelajaran khusus moral (dōtoku) di SD, namun nilai karakter juga diintegrasikan ke semua mata pelajaran. Selain itu terdapat kegiatan khusus (tokkatsu) harian untuk pembinaan karakter (kebersihan, upacara, dll).

Tidak ada mata pelajaran terpisah untuk karakter; nilai dan sikap disisipkan dalam semua pelajaran dan aktivitas sekolah (pendekatan integrated curriculum) . Kurikulum menekankan kompetensi lintas-kurikuler termasuk aspek nilai dan sikap.

Nilai Inti yang Diajarkan

Kolektivisme dan moral sosial: disiplin, kerja keras, tanggung jawab terhadap kelompok, hormat pada orang lain, sopan santun, cinta tanah air. Kurikulum moral dibagi aspek nilai diri, antar sesama, alam, dan masyarakat

Humanisme dan demokrasi: menghargai hak asasi, kesetaraan, kemandirian, empati, kerjasama, keadilan sosial. Nilai kurikulum mengacu pada HAM universal, partisipasi demokratis, dan kesejahteraan bersama

Metode Pengajaran

Learning by doing – anak belajar nilai melalui praktik langsung: membersihkan kelas, merawat lingkungan, tata tertib di keseharian. Pembiasaan rutin (datang tepat waktu, upacara) dan diskusi kelas tentang dilema moral. Guru berperan sebagai teladan disiplin dan sering memberikan contoh konkret. kasus sehari-hari untuk dipecahkan bersama siswa.

Student-centered & collaborative – pembelajaran interaktif yang mendorong diskusi dan proyek kelompok. Siswa dilibatkan dalam proyek tematik/ fenomena untuk belajar kerjasama dan pemecahan masalah sosial. Keseharian di kelas santai namun terstruktur: guru menghargai pendapat siswa, ada “lingkaran kelas” untuk berdialog, dan sistem buddy/mentoring antar siswa.

Peran Guru dan Sekolah

Guru sebagai figur otoritas moral; mengawasi perilaku dan menanamkan kebiasaan baik secara intensif. Sekolah sangat terstruktur dengan aturan ketat namun konsisten, membentuk karakter melalui rutinitas. Orang tua mendukung kebijakan sekolah (contoh: anak berangkat sendiri, PR tanggung jawab anak).

Guru sebagai fasilitator dan teladan yang dipercaya; diberi otonomi tinggi untuk mengintegrasikan pendidikan karakter tanpa tekanan ujian. Sekolah berfungsi sebagai komunitas suportif dengan layanan kesejahteraan lengkap (konselor, kesehatan) – fokus pada iklim percaya dan kerjasama antara guru, siswa, dan orang tua.

Contoh Program

Tokkatsu (Kegiatan Khusus): misal osōji (bersih-bersih bersama) setiap hari melatih tanggung jawab; Moral education hour: guru membacakan cerita moral atau diskusi kasus nilai. Klub sekolah & upacara juga ajang latih kepemimpinan dan kebersamaan.

KiVa (Program Anti-Bullying): kurikulum nasional untuk membangun empati dan mencegah perundungan, terbukti menurunkan kasus bullying ~20%; Phenomenon-based Learning: proyek nyata di masyarakat (misal membuat taman, drama sekolah) melatih keterampilan sosial; Student welfare team: tim sekolah pantau kesejahteraan tiap anak.

Evaluasi & Penilaian

Tidak ada penilaian angka untuk “akhlak”, namun guru memberikan laporan perkembangan sikap. Siswa Jepang diuji melalui kepatuhan aturan dan keterlibatan dalam kegiatan kolektif (penilaian informal dari guru). Penguatan positif dan teguran digunakan membentuk perilaku.

Tidak ada nilai akademik khusus untuk “karakter”. Penilaian sifat lebih banyak secara kualitatif oleh guru (misal rubrik sikap). Finlandia juga menjalankan survei iklim sekolah dan kesejahteraan siswa secara berkala. Fokus pada refleksi diri siswa – guru membantu siswa menilai perilaku mereka sendiri dan membuat rencana perbaikan.

Dampak Jangka Panjang

+ Masyarakat sangat disiplin, tertib, dan memiliki etos kerja kuat. Generasi muda terbiasa kerja tim, hormat aturan, dan mengutamakan kepentingan bersama. Beberapa studi menunjukkan potensi menurunnya kreativitas atau inisiatif individu dan orientasi kompetisi; misal pengalaman kelompok intens dikaitkan dengan penurunan sedikit kemampuan kognitif dan pendapatan saat dewasa. (meski kepuasan hidup tetap seimbang karena kuat di relasi sosial).

+ Siswa tumbuh bahagia, mandiri, dan well- rounded (cerdas sekaligus empatik). Prestasi akademis tinggi bersamaan dengan tingkat stres lebih rendah. Masyarakat memiliki social trust tinggi dan budaya inovatif yang kolaboratif. Tantangan terkini: memastikan setiap guru memiliki kapasitas menanamkan nilai secara konsisten (beberapa studi mencatat implementasi pendidikan karakter bisa bervariasi antar kelas karena otonomi tinggi guru). Namun secara umum, Finlandia berhasil mendidik generasi berkarakter tanpa mengorbankan kebahagiaan masa kecil mereka.

Kesimpulan

Berdasarkan bukti di atas, jelas bahwa Jepang dan Finlandia sama-sama menekankan pentingnya pendidikan karakter sejak dini, namun dengan pendekatan yang berbeda. Jepang mengutamakan kolektivisme, disiplin, dan harmoni sosial melalui struktur sekolah yang ketat, pelajaran moral formal, dan pembiasaan aktivitas kelompok setiap hari. Metode ini efektif membentuk siswa yang berperilaku sopan, bekerja keras, dan mampu bekerjasama dalam tim. Dampak jangka panjangnya terlihat pada masyarakat Jepang yang tertib dan memiliki etika kerja tinggi, meskipun beberapa penelitian mengindikasikan potensi berkurangnya orientasi inovasi individual akibat tekanan konformitas kelompok. Sebaliknya, Finlandia menekankan pendekatan holistik dan nilai demokratis – lingkungan sekolah dirancang ramah anak dan percaya pada otonomi baik guru maupun murid. Nilai karakter seperti empati, keadilan, dan kemandirian ditumbuhkan lewat kurikulum terintegrasi dan iklim belajar yang suportif, tanpa mata pelajaran moral terpisah. Hasil jangka panjangnya, generasi muda Finlandia berhasil mencapai kinerja akademis tinggi sembari memiliki kesejahteraan psikologis yang baik dan sikap sosial yang positif. Fokus pada keseimbangan kebahagiaan anak dan prestasi menghasilkan masyarakat dengan tingkat kepercayaan dan kebahagiaan yang tinggi, sehingga Finlandia dikenal mampu mencetak siswa berkarakter unggul sekaligus berprestasi.

Kedua negara ini memberikan pelajaran berharga bahwa pendidikan karakter efektif harus dimulai sejak usia dini dan konsisten di jenjang dasar. Jepang menunjukkan pentingnya keteladanan dan rutinitas kolektif dalam menanamkan nilai, sementara Finlandia menunjukkan bahwa kepercayaan, kesejahteraan, dan partisipasi aktif anak dapat membuahkan hasil karakter yang tak kalah kuat. Pada akhirnya, meskipun pendekatan Timur dan Barat ini berbeda secara budaya, keduanya mencapai tujuan yang sama: membekali anak dengan fondasi karakter yang kuat untuk kehidupan mereka di masa depan. Semua bukti dari riset di atas menegaskan bahwa investasi pada pendidikan karakter di tahun-tahun awal sekolah memiliki dampak jangka panjang positif bagi individu maupun masyarakat. Semua bukti dari riset di atas menegaskan bahwa investasi pada pendidikan karakter di tahun-tahun awal sekolah memiliki dampak jangka panjang positif bagi individu maupun masyarakat.

Daftar Pustaka:

  • Kubota, K., Ito, T., & Ohtake, F. (2019). Long-Term Consequences of Group Work in Japanese Public Elementary Schools. Japan and the World Economy, 52 100980.

  • Mulyadi, B. (2020). Early Childhood Character Education in Japan. E3S Web of Conferences, 202, 07063.

  • Suyitno, H. et al. (2019). Integration of Character Values in Teaching-Learning Process of Mathematics at Elementary School of Japan. International Journal of Instruction, 12(3), 781-794.

  • Agustin, Y. et al. (2024). Character Educations’ Comparison in Japan and Indonesia. IJIRME, 3(6), 1148-1152.

  • Melasalmi, A., & Hurme, T-R. (2022). Underlying Values Guiding Finnish Early Childhood Education. ECNU Review of Education.

  • Furman, K., & Merry, J. (2018). Trust, Collaboration and Well-Being: Lessons Learned from Finland. SRATE Journal, 27 (2),34-41.

  • Sahlberg, P. (2018). Finland’s Educational Success is No Miracle. [Online]. Available: pasisahlberg.com.

  • KiVa Antibullying Program – Research and Results (University of Turku)

  • Basic Education Curriculum Finland – Transversal Competences

  • ERIC Database – Moral Education in Finnish Schools


Komentar 0

Tinggalkan Komentar
Komentar Anda akan terlihat setelah moderasi.

Belum ada komentar, jadilah yang pertama berkomentar!