ICEI Logo

Menue

Menemukan Kembali Karakter Bangsa: Sebuah Refleksi tentang Pengasuhan, Pendidikan, dan Harapan untuk Indonesia

Oleh ICEI
Pendidikan KarakterPengasuhan
Menemukan Kembali Karakter Bangsa: Sebuah Refleksi tentang Pengasuhan, Pendidikan, dan Harapan untuk Indonesia

Indonesia adalah bangsa yang besar—secara geografis, demografis, dan kultural. Dari Sabang sampai Merauke, nilai-nilai luhur diwariskan dalam ribuan bahasa ibu, cerita rakyat, dan sistem adat. Namun, di tengah kebanggaan itu, ada keresahan yang terus menguat: mengapa hari ini Indonesia terlihat seperti bangsa yang kehilangan karakter? Mengapa nilai-nilai yang dulu membentuk kekuatan sosial justru kini terasa semakin asing?

Keresahan ini bukan sekadar retorika. Ia nyata dalam cara kita berkendara di jalan raya, berdiskusi di media sosial, memperlakukan yang lemah, dan menjalani politik sehari-hari. Refleksi ini tidak bermaksud menyalahkan, tetapi mengajak kita menengok kembali akar yang kita tinggalkan—pengasuhan, pendidikan, dan nilai hidup yang kita warisi dan wariskan.

Pengasuhan: Akar yang Ditinggalkan

Sebelum anak mengenal guru atau kurikulum, ia mengenal pelukan, tatapan mata, dan nada bicara orang tuanya. Di sanalah pendidikan karakter pertama kali dimulai—dalam kehangatan dan kehadiran keluarga. Sayangnya, dalam dunia modern yang serba cepat dan penuh tuntutan, pengasuhan kian tergeser oleh kebutuhan ekonomi dan ritme kerja yang keras.

Banyak anak tumbuh di tengah rumah yang sibuk, dengan orang tua yang hadir secara fisik tapi absen secara emosional. Gadget menggantikan percakapan, dan waktu bersama digantikan layar tanpa tatapan. Dalam konteks ini, nilai-nilai seperti empati, kesabaran, dan rasa hormat tidak memiliki ruang untuk tumbuh secara alami.

Pengasuhan bukan sekadar naluri, tetapi proses sadar. Ia memerlukan pengetahuan, kesadaran, dan dukungan. Sayangnya, program parenting sering kali dianggap tambahan, bukan pondasi. Padahal, keluarga adalah ruang pertama tempat anak belajar menjadi manusia.

Pendidikan yang Terlalu Akademik, Terlalu Jauh dari Kehidupan

Sekolah mestinya menjadi kelanjutan dari proses pengasuhan: memperluas makna, memperkuat nilai, dan membiasakan anak berpikir kritis dan bertindak etis. Namun dalam praktiknya, sistem pendidikan kita masih terlalu akademik-sentris. Anak-anak dididik untuk menghadapi ujian, bukan untuk menghadapi kehidupan.

Di ruang kelas, kejujuran menjadi slogan, bukan pembiasaan. Kolaborasi digantikan kompetisi, dan karakter menjadi tema pelatihan guru, bukan budaya sekolah. Kita melatih anak menjawab soal dengan cepat, tapi tidak melatih mereka menghadapi konflik dengan empati. Padahal, karakter tidak tumbuh dari hafalan, melainkan dari pengalaman.

Pendidikan kita membutuhkan transformasi. Bukan hanya dalam kurikulumnya, tetapi dalam filosofi dasarnya: bahwa mendidik bukan hanya mengisi pikiran, tapi membentuk kepribadian. Pendidikan karakter bukan mata pelajaran, melainkan cara hidup yang harus dihayati semua pihak—guru, kepala sekolah, dan seluruh komunitas pendidikan.

Dalam berbagai literatur klasik, seperti yang ditulis Koentjaraningrat, Franz Magnis-Suseno, hingga laporan World Values Survey, bangsa Indonesia dikenal dengan karakter yang hangat dan komunal: suka menolong, menghargai harmoni, religius, dan mengedepankan musyawarah.

Kita adalah bangsa yang dikenal dengan tepa selira, semangat gotong royong, dan rasa hormat yang dalam pada orang tua dan pemimpin. Bahkan Pancasila—sebagai dasar negara—menjadi fondasi nilai yang luhur: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Namun, nilai-nilai itu hari ini justru terasa retoris. Di ruang publik, yang muncul justru polarisasi, ujaran kebencian, saling curiga, dan budaya serba instan. Gotong royong tergantikan kompetisi. Rasa hormat dikalahkan oleh sinisme. Tepa selira dituduh sebagai kelemahan.

Ada disonansi yang mencolok antara nilai yang kita banggakan dan perilaku yang kita tampilkan.

Bangsa yang Bertahan, Tapi Kehilangan Arah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tangguh. Kita terbiasa menghadapi krisis—ekonomi, bencana alam, bahkan pandemi. Namun daya tahan ini sering tidak disertai dengan arah yang jelas. Kita bertahan hidup, tapi tidak selalu bertumbuh dalam nilai.

Menurut Koentjaraningrat, manusia Indonesia memiliki kekuatan adaptif dan kekeluargaan yang tinggi. Namun ia juga mencatat kelemahan laten seperti rendahnya disiplin, ketergantungan pada figur otoritas, serta mentalitas asal bapak senang (ABS). Ini diperkuat oleh budaya pendidikan yang menekankan keseragaman, bukan orisinalitas. Kita terbiasa mengikuti, bukan menalar.

Manusia Indonesia hari ini adalah individu yang berada di persimpangan: antara nilai tradisional yang mulai ditinggalkan dan nilai modern yang belum sepenuhnya dipahami. Maka muncullah kegamangan identitas. Kita religius, tapi mudah membenci. Kita bangga akan gotong royong, tapi tidak tahan berbeda pendapat.

Menemukan Kembali Jati Diri

Membangun karakter bangsa bukan proyek birokrasi. Ia harus dimulai dari ruang-ruang kecil: rumah, sekolah, komunitas. Ia harus hidup dalam praktik, bukan hanya dalam wacana. Jika kita ingin anak-anak kita jujur, kita harus berhenti berbohong. Jika kita ingin mereka peduli, kita harus hadir dengan kasih. Jika kita ingin mereka kuat, kita harus memberi ruang untuk mereka gagal dan bangkit.

Kita harus menjadikan pengasuhan sebagai gerakan bersama. Bukan sekadar tanggung jawab orang tua, tapi juga guru, pemuka agama, dan pembuat kebijakan. Kita harus mereformasi pendidikan, bukan hanya kurikulum, tetapi juga sistem nilai yang mendasarinya. Kita perlu membangun ekosistem nilai—di media, di ruang publik, di lembaga negara.

Karakter bangsa tidak dibentuk oleh slogan nasionalisme. Ia dibentuk oleh cara kita menyeberang jalan, menolong tetangga, memperlakukan yang berbeda, dan mencintai anak-anak kita. Dan semua itu hanya mungkin jika kita berani kembali ke akar: pengasuhan yang penuh cinta, pendidikan yang memanusiakan, dan kehidupan yang bermakna.

Karakter bukan sesuatu yang hilang. Ia hanya tertidur. Dan tugas kita sebagai bangsa adalah membangunkannya kembali, perlahan, melalui hal-hal sederhana yang kita lakukan setiap hari.

Komentar 0

Tinggalkan Komentar
Komentar Anda akan terlihat setelah moderasi.

Belum ada komentar, jadilah yang pertama berkomentar!