Pendidikan Karakter Melalui Sastra: Membangun Relasi yang Setara ala Narnian Virtues

“Children are not vessels to be filled, but lamps to be lit.”
― Plutarch
Pendidikan karakter, dalam banyak konteks, sering kali diidentikkan dengan pengajaran moral yang berlangsung dalam ruang kelas. Di Indonesia, pendekatan ini cenderung berkutat pada ranah kognitif—menyampaikan nilai-nilai secara verbal, mendikte perilaku ideal, dan menilai siswa berdasarkan kepatuhan pada aturan. Sayangnya, praktik semacam ini seringkali gagal menyentuh lapisan terdalam dari pengalaman batin dan relasi anak-anak, terutama remaja yang mulai mencari otoritas moralnya sendiri.
Sebaliknya, pengalaman dari luar negeri menunjukkan pendekatan yang lebih empatik dan membumi. Salah satunya adalah The Narnian Virtues Project, sebuah program pendidikan karakter berbasis literasi yang dikembangkan di Inggris. Program ini tidak hanya mengajak siswa membaca dan memahami karya sastra klasik (novel The Chronicles of Narnia karya C.S. Lewis), tetapi juga menjadikan keluarga sebagai ruang dialog dan pembentukan karakter yang sejati.
Karakter, Sastra, dan Ruang Domestik sebagai Arena Belajar
The Narnian Virtues Project merupakan program longitudinal yang dijalankan selama tiga tahun (2016–2019), dengan siklus implementasi selama 12 minggu tiap tahunnya. Setiap siklus mengintegrasikan pembelajaran karakter di kelas melalui novel Narnia dan proyek literasi berbasis rumah. Siswa berusia 11–14 tahun membaca kisah fiksi yang sarat nilai moral, kemudian diminta untuk mengidentifikasi dua kebajikan dari enam nilai utama—fortitude, integrity, wisdom, love, self-control, dan justice—yang akan mereka latih dalam kehidupan sehari-hari.
Yang membuat pendekatan ini unik adalah keberadaan Character Passport, buku kerja rumah yang harus diisi bersama orangtua. Setiap minggu, siswa dan orangtua berdiskusi tentang kemajuan karakter anak, mengevaluasi situasi dalam kehidupan sehari-hari, dan melakukan aktivitas sederhana seperti menyusun misi keluarga, menyusun jurnal syukur, hingga melakukan aksi kebaikan harian.
Proyek ini bukanlah “PR tambahan”, tetapi cara untuk menciptakan ruang bersama bagi keluarga untuk membicarakan hal-hal yang penting: nilai, kebiasaan, perilaku, dan refleksi diri. Banyak orangtua yang awalnya merasa enggan atau terbebani, justru pada akhirnya menyatakan bahwa proyek ini mengubah cara mereka berkomunikasi, mendidik, dan bahkan mengevaluasi diri mereka sendiri.
Diskusi: Proyek Literasi yang Mengubah Paradigma Orangtua
Studi ini mengungkap bahwa perubahan karakter pada siswa tidak hanya muncul dari konten ajar, melainkan dari interaksi yang terjadi di rumah sebagai hasil dari proyek literasi yang terstruktur. Dalam banyak kasus, kegiatan rumah menjadi ruang refleksi dua arah—anak belajar mendengar orangtua, dan orangtua belajar menjadi fasilitator moral, bukan sekadar pemberi perintah.
Secara konseptual, perubahan ini sejalan dengan teori bio-ekologis Bronfenbrenner, yang menyatakan bahwa perkembangan optimal terjadi ketika terdapat peningkatan kualitas interaksi proksimal dalam lingkungan mikro anak (dalam hal ini: rumah dan keluarga). Proyek Narnian Virtues menciptakan kondisi optimal ini dengan menyediakan “ruang, bahasa, dan insentif” bagi keluarga untuk berbicara tentang karakter.
Lebih jauh, proyek ini menunjukkan bahwa literasi dan karakter bukanlah dua entitas terpisah, melainkan saling menyatu dalam proses pendidikan yang utuh. Membaca sastra bukan hanya soal memahami isi cerita, tetapi soal memahami diri sendiri dan orang lain melalui lensa moral, empati, dan refleksi.
Ketiadaan Ruang Aman dalam Pendidikan Karakter di Indonesia
Sayangnya, pendekatan sehalus dan setara seperti Narnian Virtues belum memiliki padanan dalam konteks Indonesia. Meskipun nilai-nilai karakter telah menjadi bagian dari Kurikulum Merdeka dan Profil Pelajar Pancasila, pelaksanaannya seringkali tetap kaku dan bersifat formalistik. Kegiatan membaca buku, menulis refleksi, atau berdiskusi tentang karakter sering tidak sampai pada tahap internalisasi, apalagi melibatkan keluarga.
Lebih dari itu, sebagian masyarakat Indonesia bahkan masih memahami pendidikan karakter sebagai proses pembentukan disiplin yang keras dan satu arah. Dalam beberapa kasus ekstrem, anak-anak bahkan dikirim ke barak militer atau pesantren semi-militer atas nama pendidikan karakter. Di tempat-tempat semacam itu, nilai karakter dicapai melalui kepatuhan mutlak, relasi kuasa yang timpang, dan disiplin yang nyaris menyerupai hukuman. Alih-alih menciptakan ruang aman untuk refleksi, mereka menciptakan ruang tak nyaman penuh tekanan.
Model ini bertolak belakang dengan prinsip pendidikan karakter sebagai pembentukan hati, bukan sekadar pengendalian perilaku. Di Narnian Virtues, anak didorong untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain melalui dialog, bukan doktrin. Dalam konteks Indonesia, kebutuhan akan pendekatan seperti ini makin mendesak. Pendidikan karakter tidak seharusnya hanya soal menghukum, melarang, dan mengatur. Ia harus menyentuh ranah relasi dan makna—sebuah ruang yang hanya bisa diakses melalui dialog sejati, pengalaman hidup, dan narasi-narasi yang menggugah nurani.
Simpulan
Studi Narnian Virtues memberi pelajaran penting bahwa pendidikan karakter yang bermakna hanya mungkin terjadi bila mengakar dalam relasi antar manusia—antara guru dan siswa, orangtua dan anak, serta antara pembaca dan kisah yang dibaca. Dengan mengintegrasikan sastra, proyek rumah, dan refleksi moral dalam siklus terencana selama 12 minggu, proyek ini berhasil tidak hanya mengubah siswa, tetapi juga membuka mata orangtua bahwa karakter bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, melainkan harus ditumbuhkan.
Di tengah gelombang pendidikan karakter yang kerap bersifat represif dan satu arah di Indonesia, proyek semacam ini menawarkan alternatif yang lebih manusiawi: mendidik karakter bukan lewat barak militer, tapi lewat buku cerita, meja makan, percakapan sore, dan keberanian orangtua untuk juga berubah.
Oleh: Irwan Gunawan
Referensi
Paul, S. A. S., Hart, P., Augustin, L., Clarke, P. J., & Pike, M. (2020). Parents’ perspectives on home-based character education activities. Journal of Family Studies, 28(3), 1158–1180. https://doi.org/10.1080/13229400.2020.1806097
Komentar 0
Belum ada komentar, jadilah yang pertama berkomentar!