Pendahuluan
Di tengah sorotan terhadap kualitas pendidikan Indonesia, pertanyaan mendasar kembali muncul: Apakah siswa kita benar-benar belajar? Di balik pencapaian nilai dan kelulusan, sering kali tersembunyi kenyataan bahwa pembelajaran berlangsung secara seragam dan tidak menyentuh keberagaman cara berpikir serta cara belajar siswa. Padahal, dua pendekatan penting—Taksonomi Bloom dan Gaya Belajar Kolb—menawarkan pemahaman mendalam yang dapat menjadi fondasi pembelajaran yang lebih bermakna.
Selama bertahun-tahun, guru dihadapkan pada tekanan administratif, target kurikulum, dan asesmen yang kaku. Hal ini mengaburkan esensi pendidikan sebagai proses menumbuhkan manusia seutuhnya. Ketika tekanan akademik menjadi pusat perhatian, pemahaman tentang cara anak berpikir dan belajar kerap diabaikan. Padahal, inilah titik awal perubahan menuju pembelajaran yang membebaskan.
Taksonomi Bloom: Lebih dari Sekadar Menghafal
Benjamin Bloom mengembangkan taksonomi ini sebagai kerangka untuk memahami tingkat berpikir dalam proses belajar. Taksonomi Bloom mengelompokkan kemampuan kognitif menjadi enam jenjang: Mengingat, Memahami, Menerapkan, Menganalisis, Mengevaluasi, dan Mencipta. Sayangnya, sistem pembelajaran kita sering berhenti pada dua level pertama: mengingat dan memahami. Ujian nasional, asesmen kelas, bahkan sebagian besar tugas sekolah, cenderung mengukur kemampuan hafalan, bukan pemikiran kritis atau kreativitas.
Siswa menjadi hafal, tapi belum tentu paham. Mereka bisa menyebutkan definisi, tapi tidak mampu menerapkannya dalam konteks baru. Padahal, pendidikan yang membebaskan seharusnya mengantar siswa ke jenjang berpikir yang lebih tinggi—menganalisis masalah, mengevaluasi pilihan, dan menciptakan solusi.
Netriwati (2018) menyatakan bahwa Taksonomi Bloom berfungsi sebagai kerangka kerja untuk membuat tujuan pembelajaran yang teratur dan berhasil, membantu pendidik merancang pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan peserta didik dan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Hal ini sejalan dengan pandangan Anderson & Krathwohl (2001) yang memperbaharui taksonomi Bloom dengan menekankan pada dimensi kognitif dan pengetahuan untuk mendorong keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Gaya Belajar Kolb: Belajar dari Pengalaman Nyata
Sementara Bloom fokus pada proses berpikir, David Kolb menyoroti proses belajar sebagai hasil dari pengalaman konkret. Model Kolb menjelaskan empat tipe gaya belajar: Diverger, Assimilator, Converger, dan Accommodator, yang terbentuk dari dua dimensi: bagaimana seseorang memperoleh informasi (konkret vs abstrak) dan bagaimana ia memproses informasi (aktif vs reflektif).
Belajar menurut Kolb adalah sebuah siklus: mengalami, merefleksi, mengkonseptualisasi, dan menguji. Dalam konteks kelas, pendekatan ini mengajak guru untuk tidak hanya menyampaikan materi, tetapi menciptakan pengalaman belajar yang otentik, memberi ruang refleksi, dan menantang siswa untuk mencoba dan menguji ide mereka sendiri.
Kolb (1984) menyatakan bahwa belajar adalah proses di mana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Dengan kata lain, pengalaman bukanlah hasil belajar, melainkan fondasi dari proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini menegaskan pentingnya keterlibatan langsung dan pembelajaran kontekstual dalam pendidikan.
Apakah Bloom dan Kolb Bertentangan?
Pertanyaan ini penting, karena keduanya sering dianggap mewakili dua kutub pendekatan belajar: satu kognitif-mentalistik, satu lagi pengalaman-behavioristik. Namun, keduanya sesungguhnya saling melengkapi. Taksonomi Bloom dapat memberi arah tujuan kognitif dalam pembelajaran, sementara Kolb memberi panduan bagaimana proses pembelajaran itu dialami secara menyeluruh oleh siswa.
Sebagai contoh, untuk mencapai "mencipta" dalam taksonomi Bloom, siswa tidak cukup diberi teori. Mereka perlu mengalami, mengeksplorasi, dan menguji, sebagaimana ditunjukkan oleh siklus Kolb. Di sinilah titik temu keduanya: penguasaan kognitif yang berakar pada pengalaman nyata.
Dewey (1938) dalam karya klasiknya "Experience and Education" menyebut bahwa pengalaman belajar yang tidak diolah secara reflektif bisa menjadi pengalaman yang kosong. Ini memperkuat pentingnya siklus refleksi dalam gaya belajar Kolb sebagai jembatan menuju pemahaman mendalam seperti yang dikehendaki dalam taksonomi Bloom.
Refleksi: Di Mana Posisi Kita?
Dalam praktiknya, pendidikan kita masih banyak terjebak pada pemahaman dangkal dan pendekatan seragam. Guru dituntut menyelesaikan silabus, bukan memahami cara belajar anak. Siswa dituntut mengerjakan soal, bukan menumbuhkan nalar.
Sudah saatnya kita bertanya: Apakah kelas kita memberi ruang untuk refleksi?
Apakah siswa diberi kesempatan mencipta? Apakah kita mengenali gaya belajar mereka? Mengintegrasikan pemahaman Bloom dan Kolb bukan soal memilih yang mana, tapi bagaimana menjembatani keduanya untuk menciptakan pembelajaran yang benar-benar menyentuh manusia seutuhnya.
Penutup
Taksonomi Bloom dan Gaya Belajar Kolb adalah dua lensa yang saling memperkaya. Yang satu mengajak berpikir lebih dalam, yang satu mengajak belajar lebih nyata. Pendidikan yang berkualitas bukan hanya tentang capaian akademik, tapi juga tentang proses—bagaimana siswa mengalami, memahami, dan menciptakan. Di sinilah kita dapat memulai perubahan: dari ruang kelas, dari guru yang reflektif, dan dari pembelajaran yang memanusiakan.
Daftar Pustaka:
- Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives. Longman.
- Bloom, B. S. (1956). Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals. David McKay Company.
- Dewey, J. (1938). Experience and Education. Macmillan.
- Kolb, D. A. (1984). Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Prentice Hall.
- Netriwati. (2018). Peran Taksonomi Bloom dalam Merancang Tujuan Pembelajaran. Jurnal Lencana, 5(2), 45–56.