Belakangan ini, muncul gagasan dari salah satu kepala daerah di Indonesia untuk melibatkan militer dalam membentuk karakter siswa. Meskipun tampak tegas dan solutif, pendekatan seperti ini berisiko mengaburkan esensi pendidikan karakter itu sendiri. Karakter bukan sekadar disiplin atau kepatuhan instan, melainkan kesadaran yang tumbuh dari dalam diri anak.
Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, telah lama mengingatkan bahwa pendidikan bukan proses menundukkan, tetapi menuntun kodrat anak. Dalam pandangannya, setiap anak memiliki kekuatan dan kecenderungan alami yang harus dihargai dan dibimbing dengan penuh cinta, bukan ditekan. “Anak-anak hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun,” ujarnya.
Di tengah derasnya arus teknologi dan perubahan zaman, karakter anak abad 21 tidak cukup dibentuk lewat hafalan nilai atau slogan moral. Ki Hadjar mengajak kita melihat karakter sebagai kesatuan cipta (pikiran), rasa (perasaan), dan karsa (kemauan). Pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif, tanpa merawat rasa dan mengasah kehendak, akan melahirkan generasi yang cerdas tapi dingin, atau baik hati tapi pasif.
Peran guru hari ini menjadi sangat krusial. Bukan sebagai pemberi aturan semata, melainkan sebagai penuntun jiwa. Guru perlu hadir sebagai teladan nilai, pendamping proses tumbuh, dan pemantik kesadaran. Ruang kelas harus menjadi tempat anak belajar berpikir, merasakan, dan bertindak sebagai manusia utuh.
Pendidikan karakter, pada akhirnya, bukan soal menyiapkan anak agar patuh pada sistem, tapi agar mereka mampu berdiri tegak sebagai manusia merdeka—yang berpikir jernih, merasa dalam, dan bertindak bijak.