Karakter Siswa Abad 21 dalam Cahaya Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Oleh ICEI
Pengembangan Kurikulum / Pendidikan Abad 21Pendidikan Karakter
Karakter Siswa Abad 21 dalam Cahaya Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Belakangan ini, muncul wacana dari salah satu pemimpin daerah di Indonesia yang menyarankan keterlibatan militer dalam proses pendidikan karakter di sekolah. Gagasan ini tentu menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, disiplin dan ketegasan adalah aspek penting dalam pendidikan karakter. Namun di sisi lain, pendekatan militeristik berisiko menekan kebebasan berpikir, mengurangi ruang dialog, dan membentuk kepatuhan tanpa kesadaran. Jika karakter hanya dibentuk lewat ketakutan, maka nilai-nilai yang dihasilkan bisa rapuh dan semu.

Dalam konteks ini, pemikiran Ki Hadjar Dewantara menjadi sangat relevan untuk dijadikan landasan. Beliau menekankan pentingnya pendidikan yang memerdekakan dan menumbuhkan, bukan menekan dan menyeragamkan. Dalam salah satu gagasannya, Ki Hadjar berkata, “Tujuan pendidikan itu untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Ini berarti pendidikan karakter seharusnya diarahkan untuk mengembangkan potensi anak secara utuh, dengan pendekatan yang menghargai martabat dan kebebasan mereka sebagai individu. Dalam konteks ini, pemikiran Ki Hadjar Dewantara menjadi sangat relevan untuk dijadikan landasan. Sebagaimana beliau pernah menegaskan, “Anak-anak hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu.” Kutipan ini menegaskan bahwa pendidikan karakter seharusnya tidak menciptakan kepatuhan yang dibentuk oleh tekanan, tetapi mengarahkan pertumbuhan anak berdasarkan potensi alaminya. untuk dijadikan landasan: bahwa karakter tumbuh melalui proses yang mendalam, manusiawi, dan memerdekakan, bukan melalui tekanan atau paksaan.

Sebagai lanjutan dari kegelisahan itu, di era disrupsi saat ini, teknologi berkembang pesat, dunia kerja berubah, dan tantangan sosial makin kompleks., dunia kerja berubah, dan tantangan sosial makin kompleks. Kita bicara tentang pentingnya menyiapkan siswa yang adaptif, kreatif, kritis, dan kolaboratif—semua bagian dari karakter abad 21. Namun di tengah gelombang global ini, kita perlu bertanya: apa dasar nilai yang menopang semua keterampilan itu? Jawabannya ada pada pemikiran Ki Hadjar Dewantara: pendidikan sebagai usaha membentuk manusia seutuhnya, bukan hanya sebagai makhluk intelektual, tapi juga berbudi, berjiwa, dan bermasyarakat.

Karakter sebagai Keutuhan Manusia: Menyatu Cipta, Rasa, dan Karsa

Pendidikan karakter di abad 21 sering dikaitkan dengan sekumpulan nilai atau indikator perilaku tertentu. Namun Ki Hadjar melihat karakter bukan sebagai hasil hafalan atau daftar moral, melainkan sebagai ekspresi utuh dari cipta (pikiran), rasa (perasaan), dan karsa (kemauan) yang tumbuh seimbang. Pendidikan yang memisahkan ketiganya hanya akan menghasilkan individu yang timpang secara kepribadian—cerdas tetapi tidak berempati, atau baik hati tetapi tidak berdaya mengambil keputusan.

Anak tidak cukup hanya diajarkan berpikir logis, tapi juga dilatih merasakan dan digugah untuk bertindak atas dasar nilai. Di sinilah pendidikan menjadi proses holistik, bukan hanya akademik. Karakter bukan tambahan pelajaran, tapi menyatu dalam cara berpikir, merasakan, dan bersikap anak terhadap dunia. Ki Hadjar sendiri menegaskan, "Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter), pikiran (intelek), dan jasmani anak... supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya."

Dalam praktik ruang kelas saat ini, banyak pembelajaran yang masih terfokus pada capaian kognitif semata. Kurikulum berorientasi pada ujian, asesmen standar, dan hasil belajar yang terukur. Hal ini membuat dimensi rasa dan karsa kurang mendapat ruang tumbuh yang proporsional. Padahal, kemampuan empati, motivasi diri, dan keberanian mengambil keputusan adalah fondasi karakter yang sangat dibutuhkan siswa untuk menghadapi dunia yang terus berubah. Jika pendidikan gagal menumbuhkan integritas dan nurani, maka keterampilan abad 21 hanya akan menjadi alat tanpa arah., banyak pembelajaran yang masih terfokus pada capaian kognitif semata. Kurikulum berorientasi pada ujian, asesmen standar, dan hasil belajar yang terukur. Hal ini membuat dimensi rasa dan karsa kurang mendapat ruang tumbuh yang proporsional. Padahal, kemampuan empati, motivasi diri, dan keberanian mengambil keputusan adalah fondasi karakter yang sangat dibutuhkan siswa untuk menghadapi dunia yang terus berubah.

Guru: Penuntun Jiwa, Penanam Karakter

Pendidikan modern berbicara tentang guru sebagai fasilitator, tapi Ki Hadjar lebih dulu merumuskannya dalam prinsip: “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Guru tidak boleh mendominasi ruang belajar, tapi memberi ruang tumbuh bagi anak. Ia menjadi inspirasi di depan, penggerak di tengah, dan pendorong di belakang.

Karakter tidak dibentuk lewat instruksi, tetapi lewat interaksi. Guru menjadi sumber nilai bukan lewat kata-kata, tetapi lewat konsistensi tindakan, cara bersikap, dan hubungan yang manusiawi dengan murid-muridnya. Dalam hal ini, guru memiliki peran strategis sebagai penuntun kehidupan, bukan sekadar pengajar pelajaran.

Namun di banyak ruang kelas hari ini, relasi guru dan siswa masih diwarnai oleh pola satu arah. Guru menjadi pusat kendali, dan siswa menjadi objek yang dituntut patuh. Padahal, di abad 21, anak-anak membutuhkan pendidik yang bisa menjadi mitra dialog, pembangun semangat, dan pemberi kepercayaan. Karakter tumbuh subur dalam atmosfer kelas yang memberi rasa aman, percaya, dan saling menghargai.

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara juga menegaskan bahwa setiap anak hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. “Anak-anak hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu.” Pendidikan karakter tidak seharusnya memaksa semua anak menjadi seragam secara sikap. Justru, ia harus membantu anak menemukan bentuk karakter terbaiknya sendiri—yang khas, otentik, dan relevan dengan zamannya.

Refleksi terhadap praktik pendidikan hari ini menunjukkan masih kuatnya tekanan pada keseragaman: semua anak harus bisa hal yang sama, dalam waktu yang sama. Akibatnya, potensi khas tiap anak sering tak dikenali. Pendidikan karakter yang sejati mestinya membuka ruang diferensiasi, mendukung eksplorasi minat, dan memberikan anak hak untuk menjadi dirinya sendiri dengan bimbingan nilai yang kuat.

Dalam konteks ini, guru adalah arsitek proses pembelajaran yang bersifat membebaskan. Ia menuntun anak bukan untuk menjadi seperti yang diharapkan sistem, tetapi untuk menemukan jati dirinya sendiri dalam semangat nilai luhur dan tanggung jawab sosial. Peran guru bukan hanya penting, tetapi menentukan arah dan jiwa dari proses pendidikan karakter itu sendiri.

Karakter yang Kontekstual: Tumbuh dari Budaya dan Kehidupan Sehari-hari

Karakter abad 21 sering dikaitkan dengan nilai-nilai global seperti toleransi, keberagaman, atau kepemimpinan. Namun jika tidak ditanamkan secara kontekstual, nilai-nilai itu hanya akan menjadi jargon.

Ki Hadjar mengingatkan bahwa pendidikan tidak boleh memisahkan anak dari akar kebudayaannya. Nilai tumbuh kuat ketika ditanam dalam realitas hidup anak: keluarga, komunitas, bahasa ibu, dan lingkungan sosialnya.

Pendidikan karakter yang efektif bukan yang “diturunkan dari atas”, tapi yang “dihidupkan dari dalam”—dari pengalaman konkret anak, bukan sekadar teori.

Di lapangan, masih banyak ruang kelas yang terjebak dalam pendekatan yang seragam dan jauh dari kehidupan nyata siswa. Karakter dijelaskan lewat ceramah, bukan dijalani melalui pengalaman. Padahal, anak-anak belajar paling efektif ketika mereka melihat makna nilai dalam keseharian: di rumah, di sekolah, dan di komunitas. Konteks lokal bukan halangan, melainkan sumber daya untuk menanamkan karakter secara autentik.

Penutup: Pendidikan Karakter yang Mengakar dan Mencerahkan

Membentuk karakter siswa abad 21 bukan sekadar menyiapkan mereka untuk sukses dalam pekerjaan, tapi membekali mereka menjadi manusia yang utuh—berpikir kritis namun tetap berakar, bebas namun tetap bertanggung jawab, kreatif namun tetap berbudi pekerti.

Dalam cahaya pemikiran Ki Hadjar Dewantara, kita menemukan bahwa karakter sejati tidak dibentuk oleh sistem yang menekan, melainkan oleh proses yang menuntun, membebaskan, dan memanusiakan.

Komentar 0

Tinggalkan Komentar
Komentar Anda akan terlihat setelah moderasi.

Belum ada komentar, jadilah yang pertama berkomentar!