Pendahuluan
Pengasuhan adalah fondasi pendidikan dan pembentukan karakter bangsa. Di Indonesia, peran orang tua dalam mendidik anak masih sering dipahami sebagai sesuatu yang alamiah dan intuitif, bukan sebagai proses sadar yang membutuhkan dukungan, ilmu, dan kebijakan yang kuat. Seiring berkembangnya kesadaran akan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan, muncul berbagai program dan inisiatif dari pemerintah maupun masyarakat sipil. Meski demikian, sistem pengasuhan nasional belum sepenuhnya terintegrasi secara optimal dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Tulisan ini bertujuan untuk mengurai perjalanan dan bentuk program pengasuhan di Indonesia, mengidentifikasi kekuatan serta tantangan dari berbagai pendekatan, serta menawarkan arah pembaruan yang lebih integratif, reflektif, dan kontekstual
Jejak Program Pengasuhan di Indonesia
Pengasuhan dalam masyarakat Indonesia sejatinya telah mengakar jauh sebelum hadirnya program-program formal pemerintah. Dalam masyarakat tradisional, praktik pengasuhan dilakukan melalui nilai, ritus, dan relasi sosial yang turun-temurun. Di Minangkabau, misalnya, peran “mamak” (paman dari garis ibu) dalam mendidik anak menandakan tanggung jawab kolektif dalam pengasuhan. Di tanah Jawa, filosofi “asah, asih, asuh” mewarnai relasi orang tua–anak secara spiritual dan emosional. Begitu pula dalam komunitas Bali, pengasuhan dimaknai sebagai bagian dari harmoni kosmis, yang menyeimbangkan kasih sayang, disiplin, dan tradisi.
Memasuki era modern, negara mulai masuk sebagai aktor pengasuhan, awalnya melalui jalur kesehatan masyarakat. Posyandu dan program KIA menjadi ruang edukasi dasar bagi ibu dan balita. Lalu gerakan PKK membawa pendekatan keluarga sebagai ruang pendidikan awal, meski masih terfokus pada peran ibu. Hingga pada awal 1990-an, pendekatan mulai bergeser menjadi lebih sistemik melalui program Bina Keluarga Balita (BKB) oleh BKKBN. Di sini, pengasuhan mulai dirancang sebagai intervensi berbasis modul dan kelompok belajar. Puncaknya adalah pada tahun 2015–2019 ketika Direktorat Pendidikan Keluarga di Kemendikbud memperkenalkan pendekatan reflektif dan relasional antara rumah dan sekolah.
Pada tahun 2015 hingga 2019, peran negara dalam memperkuat pendidikan berbasis keluarga semakin menonjol dengan kehadiran Direktorat Pendidikan Keluarga (Ditdikkel) di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ditdikkel memainkan peran penting dalam mendorong keterlibatan orang tua sebagai mitra utama pendidikan. Direktorat ini menghasilkan berbagai modul pengasuhan, panduan pelibatan keluarga di sekolah, serta meluncurkan gerakan seperti 'Gerakan 1821' dan 'Ayah Bunda Hebat'. Ditdikkel juga mendorong pelatihan fasilitator pendidikan keluarga dan pengembangan program Sekolah Ramah Keluarga di berbagai daerah. Meskipun struktur organisasi ini tidak dilanjutkan setelah 2019, warisan pendekatannya masih dirasakan dalam banyak program pengasuhan dan komunitas pendidikan keluarga hingga hari ini.
Selain dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan lembaga filantropi juga turut memperkaya ranah pengasuhan di Indonesia. Lembaga seperti Indonesia Heritage Foundation, Save the Children, Plan International, dan UNICEF aktif mengembangkan pendekatan pengasuhan positif, pendidikan karakter, serta pelindungan anak. Di sisi lain, muncul pula berbagai komunitas mandiri seperti kelompok homeschooling, komunitas ibu menyusui, parenting islami, dan gerakan ayah terlibat yang memperkuat peran keluarga melalui inisiatif akar rumput yang reflektif dan berbasis nilai lokal.
Pengasuhan Pada Remaja
Meskipun sebagian besar program pengasuhan di Indonesia berfokus pada usia dini dan anak, fase remaja (10–18 tahun) juga membutuhkan perhatian khusus. Remaja menghadapi tantangan perkembangan yang kompleks seperti pencarian identitas, regulasi emosi, tekanan sosial, dan risiko digital. Sayangnya, belum banyak program pengasuhan yang dirancang secara spesifik untuk mendampingi keluarga dalam memahami dan menghadapi dinamika remaja.
Modul-modul parenting yang tersedia lebih banyak membahas pola komunikasi anak kecil atau perawatan balita. Hal-hal seperti dialog kritis tentang nilai, kesehatan reproduksi, relasi sehat, hingga penggunaan teknologi seringkali tidak tercakup dalam modul formal.
Agar keluarga dapat memberikan pengasuhan yang relevan bagi remaja, mereka perlu memerankan tiga hal utama. Pertama, menjadi pendamping reflektif, bukan pengontrol—dengan mendengarkan tanpa menghakimi, dan menghargai pilihan anak. Kedua, menjadi mediator emosi dan etika, dengan memfasilitasi diskusi nilai dan membangun batas yang sehat. Ketiga, menjadi fasilitator peran sosial dan kemandirian anak, termasuk dalam mengenali bakat dan merancang masa depan.
Intervensi Negara Saat Ini dalam Pengasuhan
Setelah peleburan Direktorat Pendidikan Keluarga, intervensi pengasuhan dari negara masih berlangsung melalui berbagai unit dan program. Bentuk-bentuknya cukup beragam dan masih dirasakan langsung oleh masyarakat, antara lain:
Pertama, program Bina Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB-HI) masih dijalankan oleh BKKBN dan mitra lintas sektor. Program ini hadir di desa-desa melalui Posyandu atau PAUD, menghadirkan penyuluhan, kelas ayah, serta stimulasi dan permainan anak. Kedua, PAUD Holistik Integratif yang menyasar pelibatan orang tua dalam pembelajaran anak secara menyeluruh. Ketiga, program transisi PAUD ke SD melalui modul Kemendikbudristek yang juga menyertakan panduan untuk orang tua. Keempat, pelibatan keluarga dalam proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) mulai tampak di sekolah-sekolah. Terakhir, program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dari KemenPPPA juga menyasar penguatan pola asuh ramah anak di tingkat komunitas.
Dari sisi program pengasuhan untuk remaja, beberapa program nasional telah menyentuh isu remaja, seperti Generasi Berencana (Genre) oleh BKKBN atau PATBM oleh KemenPPPA. Namun, pendekatan yang digunakan masih lebih berorientasi pada remaja sebagai individu, bukan sebagai bagian dari sistem keluarga yang utuh. Orang tua tidak diposisikan sebagai aktor utama pengasuhan remaja, melainkan sebagai pelengkap atau penonton dari intervensi sosial yang diarahkan ke anak.
Selain itu, belum ada modul pengasuhan remaja yang dikembangkan secara nasional dan digunakan secara sistemik oleh sekolah, komunitas, maupun pemerintah daerah. Konten pengasuhan yang beredar pun masih minim dalam membahas isu-isu penting seperti komunikasi setara dengan remaja, kesehatan mental dan reproduksi, hingga ke kecanduan digital dan literasi media.
Hal ini menimbulkan kesenjangan antara kebutuhan pengasuhan di tingkat keluarga dan dukungan kebijakan yang tersedia. Dalam praktiknya, pengasuhan remaja sering kali didelegasikan ke guru BK, forum anak, atau LSM—sementara keluarga tidak dipersiapkan untuk memfasilitasi fase ini secara aktif dan sadar
Tantangan dan Arah Pembaruan
Meskipun inisiatif pengasuhan di Indonesia terus berkembang, terdapat beberapa tantangan utama. Fragmentasi kebijakan antar kementerian dan lembaga membuat banyak program berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi solid. Konten pengasuhan juga seringkali bersifat normatif dan belum sepenuhnya kontekstual dengan kehidupan keluarga Indonesia yang beragam. Di sisi lain, ketimpangan akses terhadap pelatihan parenting masih menjadi hambatan, terutama di wilayah terpencil.
Untuk menjawab tantangan ini, penguatan ekosistem pengasuhan nasional perlu menjadi prioritas. Pemerintah dan masyarakat sipil perlu bersinergi membangun pendekatan pendidikan keluarga yang adaptif, berbasis nilai, dan partisipatif. Revitalisasi pendekatan seperti yang dikembangkan oleh Ditdikkel dapat dijadikan fondasi untuk membangun kembali sistem pengasuhan nasional yang relevan, reflektif, dan mendalam.
Penutup
Jejak program pengasuhan di Indonesia menunjukkan adanya komitmen yang terus tumbuh dalam menjadikan keluarga sebagai pilar utama pendidikan. Dari akar budaya hingga intervensi negara, pengasuhan telah bergerak dari bentuk intuitif menuju proses yang lebih terstruktur. Namun, untuk menjawab dinamika zaman, diperlukan kesinambungan kebijakan, partisipasi komunitas, serta pendekatan reflektif yang menjadikan orang tua bukan sekadar sasaran edukasi, tetapi aktor utama dalam proses pendidikan anak.