Anggaran Pendidikan Jumbo, Kualitas & Kompetensi Guru serta Kesejahteraan Profesi Guru : Sebuah Refleksi

By ICEI
KebijakanHari Peringatan NasionalPendidikan dan Pengajaran
 Anggaran Pendidikan Jumbo, Kualitas & Kompetensi Guru serta Kesejahteraan Profesi Guru : Sebuah Refleksi

Profesi guru adalah ujung tombak pendidikan generasi bangsa. Dalam perayaan Hari Guru Nasional, biasanya para siswa berbaris menyalami guru-guru mereka sebagai tanda hormat. Tradisi ini mencerminkan tingginya rasa hormat masyarakat Indonesia terhadap sosok pendidik, yang kerap dijuluki “pahlawan tanpa tanda jasa”. Namun, di balik peringatan tahunan yang sarat apresiasi ini, perjalanan bangsa Indonesia dalam mencerdaskan kehidupan generasi muda menyimpan berbagai dinamika dan tantangan – terutama terkait kesejahteraan para guru itu sendiri. Berikut adalah sedikit refleksi perjalanan pendidikan nasional dari masa ke masa, realitas profesi guru di tanah air, hingga harapan akan peningkatan kesejahteraan guru demi pendidikan berkualitas.

Perjalanan Panjang Pendidikan Bangsa Indonesia: Penghormatan vs Kesejahteraan

Sejak era kolonial, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa telah menjadi tekad kolektif para pendidik. Pada 1912, para guru pribumi mendirikan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas guru. Semangat ini berlanjut hingga pasca-kemerdekaan: Kongres Guru Indonesia pada 24–25 November 1945 melahirkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai wadah perjuangan guru untuk turut menegakkan dan mengisi kemerdekaan melalui pendidikan.

Penghormatan formal terhadap profesi guru diwujudkan dengan ditetapkannya Hari Guru Nasional. Pemerintah Orde Baru menetapkan 25 November – hari lahir PGRI – sebagai Hari Guru Nasional melalui Keppres No. 78 Tahun 1994. Tiap era kepemimpinan pun selalu menyanjung peran penting guru dalam pidato dan kebijakan pendidikan. Secara retorik, guru diakui sebagai garda terdepan pencerdasan bangsa dan motor penggerak kemajuan. Akan tetapi, apakah penghormatan tinggi ini tercermin dalam keseharian dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada guru?

Sejak awal kemerdekaan, pendidikan telah menjadi prioritas bangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya mewujudkan pendidikan bagi semua terlihat dalam berbagai kebijakan historis. Selain itu, Komitmen negara pun termaktub jelas dalam konstitusi; Pembukaan UUD 1945 menugaskan negara “mencerdaskan kehidupan bangsa”, dan bahkan Pasal 31 hasil amendemen mewajibkan alokasi 20% APBN untuk pendidikan

Saat era Orde Baru, misalnya, pemerintah meluncurkan program SD Inpres (Instruksi Presiden) untuk membangun sekolah dasar secara masif. Hasilnya, pada periode 1973–1978 lebih dari 61 ribu gedung SD baru berhasil didirikan. Hingga tahun 1993/1994, total hampir 150 ribu unit SD Inpres telah dibangun dan ditempatkan lebih dari 1 juta guru di seluruh Indonesia. Berkat program ini, akses pendidikan dasar meluas secara drastis – Angka Partisipasi Murni SD mencapai 99,6% pada tahun 1988 – dan Presiden Soeharto bahkan menerima Penghargaan Avicenna dari UNESCO atas keberhasilan tersebut. Perjalanan panjang ini menunjukkan komitmen bangsa dalam memperluas kesempatan belajar bagi setiap anak negeri.

Akan tetapi tantangan pendidikan tidak hanya soal akses dan infrastruktur, tetapi juga kualitas pendidik. Dari masa ke masa, guru dijuluki “pahlawan tanpa tanda jasa” – sebuah penghormatan tinggi atas dedikasi mereka. Sayangnya penghormatan tersebut belum dibarengi dengan kebijakan nyata yang berpihak pada kesejahteraan guru. Biyanto, seorang Guru Besar dan pengamat pendidikan, menyoroti bahwa persoalan kesejahteraan guru sudah terlalu lama menjadi komoditas janji politik. “Janji politik untuk memperbaiki kesejahteraan guru disampaikan pada setiap pemilu,” ujarnya. Dari waktu ke waktu, janji itu selalu muncul bak angin surga, namun realisasinya kerap tertunda.

Kesenjangan antara retorika penghormatan dan realitas kesejahteraan ini tampak jelas. Guru-guru honorer dan non-ASN, misalnya, sering menerima upah jauh di bawah standar. Mereka menjalankan tanggung jawab yang sama seperti guru tetap, namun tanpa kepastian status dan dengan gaji minimal tanpa tunjangan. Tak jarang pemerintah menjanjikan peningkatan nasib guru honorer, tetapi implementasinya lambat. Sementara itu, guru PNS pun masih menghadapi tantangan pemenuhan hak – mulai dari tunggakan tunjangan sertifikasi di sejumlah daerah hingga disparitas kesejahteraan antara pusat dan daerah. Semua ini menunjukkan bahwa penghargaan nyata melalui kebijakan pro-guru masih perlu diperjuangkan lebih serius.

Secara hukum, sebenarnya sudah ada landasan kuat untuk kesejahteraan guru. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan sosial. Implementasinya, pemerintah menjalankan program sertifikasi guru sejak era Presiden SBY sebagai upaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan. Guru bersertifikat profesional mendapat tunjangan setara gaji pokok yang diharapkan dapat menunjang kehidupan yang layak. Namun, fakta di lapangan menunjukkan tidak semua guru menikmati hak tersebut. Jutaan guru masih berstatus “belum tersertifikasi” meski undang-undang mengamanatkannya – hingga kini sekitar 1,63 juta guru (dari 3,37 juta total) belum memperoleh sertifikat pendidik yang menjadi syarat tunjangan profesional. Artinya, hampir setengah dari pendidik kita belum merasakan sepenuhnya peningkatan kesejahteraan yang dijanjikan.

Kita dapat menengok contoh konkret di awal era Reformasi. Pada tahun 2003, pemerintah mengusulkan anggaran pendidikan Rp27 triliun – naik 100% dari tahun sebelumnya – sebagian besar untuk peningkatan kesejahteraan guru. Ini terjadi di masa Presiden Megawati, ketika Mendiknas Malik Fajar mengupayakan kenaikan tunjangan fungsional guru hingga 60%. Kendati tunjangan guru golongan rendah dinaikkan dari Rp112.500 menjadi Rp170.000 per bulan, angka tersebut tetap sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Langkah tersebut menunjukkan niat baik pemerintah menghargai guru, tetapi belum cukup mengangkat derajat kesejahteraan mereka.

Memasuki satu dekade terakhir, janji untuk menyejahterakan guru terus bergulir. Pemerintah daerah rutin menaikkan Upah Minimum bagi buruh tiap tahun, tapi pertanyaan pentingnya: bagaimana dengan gaji guru? Realitanya, gaji guru umumnya masih jauh dari kata memadai. Bahkan, banyak guru yang menerima gaji jauh di bawah standar kelayakan hidup. Penghargaan setinggi apa pun tidak akan menutupi fakta bahwa guru sering harus bertahan hidup dengan penghasilan minimal. Retorika menghormati guru di atas panggung seremonial masih perlu dibuktikan dengan kebijakan nyata yang benar-benar berpihak pada guru.

Profesi Guru: Ujung Tombak yang Tersisih?

Jika dibandingkan dengan profesi lainnya, status sosial dan ekonomi guru di Indonesia masih tertinggal. Menjadi guru, terutama guru sekolah dasar dan menengah, kerap dipandang sebagai profesi “kelas dua” secara ekonomi. Hal ini ironis mengingat masa depan bangsa sangat bergantung pada kualitas pendidikan, dan guru adalah ujung tombaknya. Standar kualifikasi guru sebenarnya tinggi – minimal sarjana S1/D4, bahkan banyak yang bergelar S2 atau S3. Namun, imbalan finansial yang mereka terima tidak sebanding dengan tuntutan kualifikasi tersebut. Sebuah kolom BAN-PDM mencatat, gaji guru terasa sekali lebih kecil dibanding gaji buruh berupah minimum, padahal syarat menjadi guru jauh lebih berat dari buruh. Ironi ini mencerminkan ketimpangan: profesi guru menuntut pendidikan tinggi dan pengabdian, tetapi penghargaan finansialnya tidak setara.

Akibat kondisi ini, profesi guru kurang menarik bagi banyak lulusan terbaik. Tak heran jika dalam berbagai survei, profesi guru tidak masuk dalam pilihan karier “top tier” bagi generasi muda. Sebagian besar yang menjadi guru melakukannya karena panggilan jiwa, bukan karena iming-iming kesejahteraan. Kita patut mengapresiasi semangat pengabdian para “pahlawan tanpa tanda jasa” ini – dengan gaji pas-pasan mereka tetap mendidik dengan sepenuh hati. Namun, pengabdian tanpa batas tersebut tidak boleh membuat kita abai bahwa guru berhak hidup sejahtera. Sebagaimana diamanatkan UU No. 14 Tahun 2005, guru adalah jabatan profesional yang berhak atas penghasilan dan kehidupan layak.

Meski guru disebut sebagai ujung tombak pendidikan dan masa depan bangsa, nyatanya profesi ini belum menduduki strata teratas dalam pilihan karier di Indonesia. Dibanding profesi lain seperti dokter, insinyur, atau pegawai BUMN, profesi guru kerap dianggap “kelas dua” dalam hal imbalan finansial dan prestise. Realita upah guru memperlihatkan hal tersebut secara gamblang. Rata-rata gaji pokok guru PNS golongan terendah hanya sekitar Rp1,6–2,9 juta per bulan, dan bahkan untuk golongan tertinggi (IVe) berkisar Rp3,8–6,3 juta per bulan. Bagi guru kontrak pemerintah (PPPK) pun, skema gajinya dimulai di angka Rp1,94 juta hingga paling tinggi Rp7,33 juta (untuk jenjang masa kerja tertinggi). Nominal ini jauh tertinggal dibanding profesi profesional lain dengan kualifikasi setara.

Bila dibandingkan standar regional, kondisi ini lebih memprihatinkan. Gaji guru di Indonesia tercatat paling rendah se-ASEAN, dengan titik awal sekitar Rp1,94 juta per bulan. Bandingkan dengan Malaysia atau Thailand di mana guru bisa berpenghasilan mulai Rp7–19 jutaan, apalagi Singapura yang memberikan puluhan juta rupiah per bulan bagi guru pemula. Banyak guru terpaksa merangkap kerja sambilan – dari mengajar les privat, berdagang online, hingga menjadi pengemudi ojek – semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dasar. Profesi mulia ini belum mendapatkan penghargaan layak secara finansial, sehingga citra guru sebagai karier bergengsi masih tertutup bayang-bayang kesejahteraan yang kurang.

Dampak dari kondisi ini bersifat sistemik. Minimnya insentif dan penghargaan membuat generasi muda terbaik enggan masuk ke dunia keguruan. Bagi yang sudah berprofesi guru, tekanan ekonomi bisa mengganggu fokus dan kinerja. Guru adalah garda depan pendidikan, tetapi hingga kini garda depan ini masih “bertahan hidup” dalam keterbatasan. Hal ini menimbulkan paradoks: di satu sisi guru diagungkan sebagai pilar bangsa, di sisi lain nasib mereka sendiri kerap dipinggirkan.

Anggaran Pendidikan Melonjak, Kesejahteraan Guru Tertinggal

Pada tahun 2003, pemerintah mengesahkan UU Sisdiknas yang mengamanatkan peningkatan drastis anggaran pendidikan. Sejak saat itu, alokasi APBN untuk sektor pendidikan memang melonjak tajam. Jika pada APBN 2003 anggaran pendidikan hanya sekitar 4,1% (Rp13,6 triliun) dari belanja negara dan meningkat dua kali lipat pada APBN 2004 yang menganggarkan sekitar Rp27 triliun yang merupakan amanat konstitusi yang mewajibkan 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan. Maka dua dekade kemudian anggaran pendidikan nasional terus meroket: tahun 2022 sekitar Rp542,8 triliun, 2023 naik jadi Rp612,2 triliun, dan APBN 2024 mencapai Rp665 triliun. Bahkan pada APBN 2025, alokasi fungsi pendidikan menembus Rp724,3 triliun – sebuah rekor tertinggi yang mencerminkan komitmen finansial besar pemerintah di sektor pendidikan. Selain itu dapat pula diartikan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun, alokasi dana pendidikan meningkat lebih dari 20 kali lipat. Lonjakan anggaran yang sangat besar ini seharusnya menjadi kabar baik bagi dunia pendidikan, termasuk para guru.

Namun, apakah kucuran dana jumbo tersebut otomatis menyejahterakan ratusan ribu guru? Kenyataannya tidak sesederhana itu. Mayoritas anggaran pendidikan terserap untuk belanja rutin birokrasi, infrastruktur, dan program bantuan pendidikan, sementara nasib banyak guru masih terabaikan. Hingga kini, Indonesia masih memiliki jumlah besar guru yang berpendapatan rendah dan berstatus tidak tetap. Data Kemendikbud menunjukkan pada tahun ajaran 2022/2023 terdapat 704.503 guru honorer yang mengabdi tanpa status PNS. Jika ditambah guru tidak tetap (GTT) di tingkat daerah, totalnya mendekati 858 ribu orang guru non-ASN. Ini berarti sekitar seperempat dari seluruh guru di Indonesia berstatus non-pegawai tetap dengan penghasilan jauh di bawah standar.

Kesejahteraan guru honorer memang merupakan masalah paling mencolok. Banyak dari mereka menerima honor sangat minim, bahkan ada yang hanya beberapa ratus ribu rupiah per bulan, tanpa jaminan sosial apapun. Contoh konkrit, di berbagai daerah masih ditemukan guru honorer maupun guru swasta digaji sekitar Rp500–600 ribu per bulan – angka yang tidak manusiawi sebagai pendapatan profesional. Sementara itu, guru PNS pun tidak semua sejahtera: tunjangan sertifikasi baru dirasakan sebagian (karena proses sertifikasi yang panjang dan kuota terbatas), dan distribusi tunjangan daerah tidak merata. Alokasi 20% APBN yang besar belum menjamin anggaran tepat sasaran bagi peningkatan kualitas guru.

Di sinilah letak permasalahannya, ketepatan penggunaan anggaran. Banyak dana tersedot ke program pendidikan yang kurang esensial atau bahkan dikorupsi, alih-alih langsung meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru. Di RAPBN 2026 misalnya, pemerintah lebih memprioritaskan program non-pendidikan seperti makan gratis yang kontroversial, ketimbang menambah alokasi untuk peningkatan kapasitas dan kesejahteraan guru. Akibatnya, paradoks terjadi: anggaran melimpah namun output mutu pengajaran dan kesejahteraan pendidik tidak berbanding lurus. Ratusan ribu guru honorer masih antre puluhan tahun untuk diangkat atau sertifikasi demi tunjangan profesional. Ini jelas sebuah ironi di tengah klaim bahwa pendidikan menjadi prioritas. Seperti disampaikan pengamat pendidikan Lestari Moerdijat, efektivitas dan transparansi pemanfaatan anggaran 20% APBN tersebut masih harus ditingkatkan agar setiap rupiah benar-benar berdampak maksimal pada kualitas pendidikan – termasuk untuk kesejahteraan guru.

Sebuah kabar terbaru memberikan sedikit angin segar. Pada peringatan Hari Guru Nasional 2024, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya meningkatkan kesejahteraan guru mulai tahun 2025. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengumumkan bahwa pada 2025 gaji guru ASN akan naik 100% (dua kali lipat gaji pokok), dan gaji guru non-ASN bersertifikat akan ditambah Rp2 juta per bulan. Pemerintah mencatat ada 1.932.666 guru bersertifikat yang akan mendapat kenaikan tersebut, dengan anggaran kesejahteraan guru naik Rp16,7 triliun menjadi total Rp81,6 triliun di 2025. Ini adalah langkah konkrit yang patut diapresiasi setelah sekian lama guru menunggu realisasi janji. Meski demikian, kebijakan ini baru berlaku bagi guru yang sudah tersertifikasi. Tantangan ke depan adalah memastikan seluruh guru, termasuk yang belum tersertifikasi maupun honorer, bisa merasakan peningkatan kesejahteraan dari besarnya kue anggaran pendidikan nasional. Jika tidak, ironi “anggaran besar, kualitas memble” – seperti kritik banyak pihak – akan terus melekat pada pendidikan kita. Menarik untuk kita nantikan, apa yang akan dijanjikan pada peringatan Hari Guru Nasional 2025 tahun ini.

Kompetensi Guru dan Mutu Pendidikan: Masih Jauh dari Harapan

Melihat kondisi kesejahteraan yang belum memadai, tak mengherankan bahwa kompetensi guru di Indonesia masih jauh dari harapan. Berbagai survei dan evaluasi menunjukkan kualitas pedagogik dan profesional guru kita relatif rendah secara agregat. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) nasional kian menegaskan fakta ini. Pada 2012, nilai rata-rata UKG nasional hanya 44,55 (dari skor maksimal 100), jauh di bawah standar kelulusan saat itu (70 poin). Pemerintah sempat menurunkan standar kelulusan menjadi 55, namun pada UKG 2015 pun rata-rata nilai guru hanya sekitar 53 – nyaris mentok di ambang batas minimum yang sudah diturunkan. Rincian UKG 2015 memperlihatkan skor rata-rata kompetensi guru TK hanya 43,74; guru SD 40,14; guru SMP 44,14; dan guru SMA 45,38. Semua angka ini jauh dari nilai ideal 70 ke atas, mencerminkan lemahnya penguasaan materi ajar dan pedagogi di kalangan pendidik.

Data di atas memang beberapa tahun lalu, namun hingga kini penilaian kompetensi terbaru belum diumumkan secara luas. Indikator lain seperti Uji Pengetahuan dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG) juga mengindikasikan tantangan serupa: dengan ambang lulus 70, tingkat kelulusan hanya berkisar 50–70%, banyak guru harus mengulang ujian berkali-kali. Persoalan mendasar bahkan tampak dari hal sederhana – menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), masih banyak guru yang kesulitan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang seharusnya menjadi kompetensi dasar seorang pendidik. Jika membuat rencana saja tidak mampu, bagaimana menjalankan pembelajaran berkualitas? Kondisi ini menunjukkan gap kompetensi yang serius.

Selain uji kompetensi, indikator lain adalah kinerja siswa. Hasil Ujian Nasional dan tes asesmen nasional kerap mengindikasikan lemahnya penguasaan materi siswa di berbagai mata pelajaran. Tentu banyak faktor yang memengaruhi capaian siswa, tetapi peran guru sangat sentral. Guru yang kompeten akan mampu menginspirasi dan mentransfer ilmu dengan lebih efektif. Sebaliknya, guru yang kurang terampil – entah karena kekurangan pelatihan atau terdistraksi urusan kesejahteraan – akan kesulitan melahirkan proses belajar-mengajar berkualitas. Di berbagai pelosok Indonesia, masih ditemui guru-guru yang harus membagi waktu antara mengajar di kelas dan bekerja serabutan di luar sekolah demi tambahan penghasilan. Ini jelas bukan kondisi ideal bagi terciptanya pendidikan bermutu.

Kita patut mengapresiasi guru-guru yang tetap berjuang mendidik dengan segala keterbatasan. Namun, sudah saatnya peningkatan kompetensi guru dilakukan seiring peningkatan kesejahteraan. Rendahnya kompetensi guru tidak bisa dilepaskan dari konteks kesejahteraan dan sistem pendukung. Guru yang harus memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup dengan gaji minim dan status tidak pasti, sulit untuk fokus meningkatkan kompetensi. Banyak guru honorer tidak sempat meningkatkan kualifikasi atau pelatihan karena sibuk mencari tambahan penghasilan. Semua upaya ini akan lebih efektif jika guru tidak lagi dibebani masalah ekonomi dasar. Ketika profesi guru menjanjikan kehidupan layak, maka para pendidik dapat fokus sepenuhnya meningkatkan kompetensi dan kualitas pengajaran. Pada gilirannya, mutu pendidikan nasional pun akan terangkat.

Belajar dari Negara Maju: Guru Sejahtera, Pendidikan Berkualitas

Untuk memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan, tentu banyak faktor yang mempengaruhinya. Namun dalam rangka Hari Guru Nasional, tulisan ini hanya akan membahas satu hal. Kesejahteraan Guru. Pelajaran bagi bangsa Indonesia jelas: jika kita ingin pendidikan yang maju, kita harus memastikan guru mendapat kesejahteraan yang memadai. Output pendidikan kita selama ini masih tertinggal, tercermin dari berbagai indikator seperti skor kemampuan literasi dan numerasi siswa (misalnya hasil PISA yang rutin menempatkan Indonesia di peringkat bawah). Rendahnya prestasi ini tidak lepas dari peran guru yang masih menghadapi keterbatasan. Kesejahteraan guru yang minim berimplikasi pada kinerja dan kompetensi mereka. Sulit mengharapkan guru dapat mengajar dengan profesional dan penuh dedikasi jika untuk memenuhi kebutuhan dasar pun mereka kesulitan. Sementara di negara lain guru fokus mengajar dan meningkatkan kompetensi, banyak guru kita justru disibukkan pekerjaan sampingan demi mencukupi ekonomi keluarga. Ini tentunya mengurangi fokus dan energi untuk mengembangkan kualitas pengajaran.

Contoh paling sering dikutip adalah Finlandia. Di Finlandia, menjadi guru adalah salah satu profesi favorit yang sangat terhormat. Karier guru dipandang prestisius, menuntut kualifikasi tinggi, dan mendapatkan imbalan yang layak. Hanya sekitar 10–20% pelamar program pendidikan guru yang diterima; seleksinya ketat karena profesi ini dicari oleh lulusan berprestasi. Guru di sana wajib bergelar master dan menjalani pendidikan yang panjang, namun ganjarannya sepadan: gaji guru Finlandia termasuk tinggi untuk standar Eropa, ditambah berbagai tunjangan dan otonomi profesional dalam mengajar. Guru diberikan kepercayaan besar (trust-based system), sehingga mereka memiliki martabat dan motivasi tinggi dalam menjalankan tugas.

Singapura juga kerap menjadi rujukan keberhasilan pendidikan di kawasan Asia. Pemerintah Singapura menempatkan guru sebagai pilar utama pembangunan SDM dan memastikan profesi ini menarik secara karier maupun finansial. Seorang guru pemula di Singapura bisa memperoleh gaji awal sekitar SGD 3.500–6.000 per bulan (sekitar Rp44–75 juta). Selain gaji tinggi, jalur karier guru diatur jelas: para pendidik dapat memilih jalur spesialis pedagogi, manajemen sekolah, atau pengembang kurikulum, dengan kenaikan pangkat dan insentif yang transparan berbasis kinerja. Sistem dukungan seperti pelatihan rutin, evaluasi berbasis data, tunjangan perumahan dan transportasi, turut melengkapi paket kesejahteraan guru di sana. Hasilnya, profesi guru di Singapura tidak hanya dihormati, tetapi para gurunya juga menikmati kualitas hidup yang layak dan masa depan karier yang terjamin.

Pengalaman negara lain menunjukkan korelasi positif: di mana guru sejahtera dan dimuliakan, di situ pendidikan maju pesat. Korea Selatan, Kanada, Jerman, dan Jepang pun demikian – guru ditempatkan pada status sosial-ekonomi yang terhormat, sehingga menarik putra-putri terbaik untuk mengabdi sebagai pendidik. Kesejahteraan yang layak bagi guru bukan semata soal gaji tinggi, tetapi ekosistem yang mendukung: pelatihan berkelanjutan, jaminan hari tua, beban kerja yang wajar, dan penghargaan profesi. Indonesia dapat belajar bahwa investasi pada guru akan berbuah mutu pendidikan jangka panjang. Profesi guru harus dibuat menjadi destinasi karier yang menjanjikan, bukan pilihan terakhir bagi pencari kerja.

Refleksi Hari Guru: Mendorong Kebijakan Berpihak pada Guru

Peringatan Hari Guru Nasional tahun ini hendaknya menjadi momen refleksi bagi kita semua untuk bersuara bersama: sudahkah guru-guru kita mendapatkan penghargaan yang pantas, bukan hanya secara moral tetapi juga material?. Janji-janji penghormatan terhadap guru harus diwujudkan dalam langkah nyata: alokasi anggaran yang tepat guna, regulasi yang berpihak pada guru, dan pemberantasan praktik yang merugikan hak-hak guru. Seperti diungkap oleh Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat, efektivitas dan transparansi anggaran pendidikan mesti dikedepankan agar setiap rupiah berdampak maksimal pada peningkatan kualitas pendidikan. Artinya, dana besar 20% APBN harus benar-benar sampai pada peningkatan mutu pembelajaran dan kesejahteraan pendidik, bukan terserap birokrasi atau program seremonial semata.

Lebih jauh, sudah saatnya pemerintah mengubah cara pandang terhadap guru. Guru bukan beban negara, melainkan investasi bangsa yang paling berharga. Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, menegaskan bahwa gaji guru semestinya dipandang sebagai hak yang wajib dijamin dan ditunaikan oleh pemerintah – bagian dari kewajiban konstitusional yang harus dipenuhi. Pemerintah perlu berhenti menjadikan guru “kambing hitam” permasalahan pendidikan, dan sebaliknya fokus pada perbaikan sistem anggaran yang adil dan transparan. Guru adalah jantung investasi bangsa dan pembangun peradaban, yang pantas dihargai dan disejahterakan – bukan hanya secara finansial, tetapi juga secara martabat.

Mari kita jadikan kesejahteraan guru sebagai agenda prioritas. Tekanan dan aspirasi publik sangat diperlukan agar janji-janji peningkatan kesejahteraan guru benar-benar ditunaikan. Dengan demikian, Guru Hebat, Indonesia Kuat bukan sekadar tema peringatan, melainkan realita yang tampak di lapangan. Dengan guru yang sejahtera, kompeten, dan dimartabatkan, niscaya kualitas pendidikan Indonesia akan melesat maju. Sudah waktunya “hari guru” tak hanya dirayakan setiap November, tetapi benar-benar dirasakan sepanjang tahun melalui kebijakan yang pro-guru dan pro-pendidikan. Hanya dengan itu, penghormatan kita pada guru menemukan makna sejatinya.Selamat Hari Guru Nasional – semoga guru-guru kita senantiasa mendapatkan tempat terhormat yang mereka layak dapatkan, demi kemajuan pendidikan Indonesia di masa depan.

Sumber:

  1. Antara News – Jejak sejarah lahirnya Hari Guru Nasional 25 November

  2. Biyanto. “Memuliakan Kehidupan Guru.” BAN-PDM, 26 November 2024.

  3. Dea Duta Aulia. Waka MPR Dorong Peningkatan Kompetensi Guru untuk Cetak Generasi Unggul. detikNews, 18 Feb 2024.

  4. Malik Fajar. Anggaran Pendidikan 2003 Diusulkan Rp 27 Triliun. Liputan6, 24 Juli 2002.

  5. Mahar Prastowo. H.M. Soeharto, Bangun 150 Ribu SD Inpres dan Karyakan 1 Juta Guru. GenerasiIndonesia.co, 8 Juni 2021.

  6. Moch. Prima Fauzi. Peningkatan Kesejahteraan Diharapkan Dorong Kualitas Guru. detikNews, 29 Nov 2024.

  7. Media Indonesia – Jumlah Guru Honorer di Indonesia (2024)

  8. Merdeka.com. Daftar Negara dengan Gaji Tertinggi bagi Pengajar. 13 Mei 2025.

  9. MPR RI. Efektivitas dan Transparansi Pemanfaatan Anggaran Pendidikan Harus Dikedepankan. 18 Nov 2024

  10. Inilah.comDaftar Gaji Guru di Negara ASEAN

  11. Perpustakaan DPR RI – Peningkatan Kesejahteraan Guru Harus Berbanding Lurus dengan Kompetensi

  12. Tirto.idPrabowo Kritik Kompetensi Guru

  13. UnpackingIndonesia.comGuru Bukan Beban Negara (JPPI)

Comments0

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment
Your comment will be visible after moderation.