Pendahuluan: Antara Cita dan Realita
Pendidikan adalah fondasi bangsa. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, para pendiri bangsa telah menegaskan pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu tujuan utama kemerdekaan Indonesia. Semangat itu kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), yang menempatkan pendidikan sebagai upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Namun, sejak tahun 1950 hingga hari ini, perjalanan sistem pendidikan Indonesia bagaikan perahu yang terus berganti kemudi tanpa arah yang benar-benar jelas. Meskipun setiap perubahan kebijakan dan kurikulum selalu membawa jargon perbaikan, pada praktiknya sistem pendidikan kita justru kerap kehilangan arah, terjebak dalam pusaran politik, kepentingan sesaat, dan kebingungan implementatif di lapangan.
Sejarah Panjang Kebijakan dan Kurikulum
Sejak masa awal kemerdekaan, Indonesia telah mengalami sederet perubahan kurikulum: mulai dari Kurikulum 1947 yang dikenal sebagai Rencana Pelajaran, hingga yang terbaru, Kurikulum Merdeka. Setiap kurikulum lahir dengan semangat zaman dan visi pembangunan manusia yang kontekstual. Namun persoalannya bukan terletak pada semangat atau naskah kurikulumnya, melainkan pada kesinambungan kebijakan dan konsistensi implementasi.
Kurikulum 1968 yang berorientasi pada pembangunan nasional berganti dengan Kurikulum 1975 yang menekankan pendekatan tujuan instruksional. Lalu datang Kurikulum 1984 dengan pendekatan proses, disusul oleh Kurikulum 1994 yang menyatukan banyak pendekatan namun membingungkan para guru. Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 dan Kurikulum 2006 (KTSP) lahir dalam semangat desentralisasi pendidikan, namun banyak sekolah yang kebingungan dalam perancangannya. Kurikulum 2013 pun datang dengan semangat pembentukan karakter, tetapi mengalami penolakan di banyak daerah karena beban administratif dan kurangnya kesiapan.
Kurikulum Merdeka yang diluncurkan di era Menteri Nadiem Makarim menandai pergeseran besar menuju pembelajaran yang berpihak pada siswa, dengan prinsip fleksibilitas, diferensiasi, dan proyek penguatan profil pelajar Pancasila. Namun, transformasi ini tidak lepas dari kritik: terlalu cepat, minim pelatihan memadai, serta tidak semua daerah dan guru memiliki akses dan kapasitas yang setara untuk mengadopsinya.
Dinamika Terbaru: Dari Nadiem ke Abdul Mu’ti
Pergantian Menteri Pendidikan adalah momen penting yang kerap diikuti oleh pergantian arah kebijakan. Dalam beberapa bulan terakhir, perubahan signifikan terjadi setelah Menteri Abdul Mu’ti menggantikan Nadiem Makarim. Banyak kalangan berharap Mu’ti, yang dikenal sebagai tokoh pendidikan Muhammadiyah, mampu membawa angin segar bagi dunia pendidikan nasional.
Namun pada saat yang sama, publik pun khawatir: apakah perubahan ini akan kembali menjadi sinyal perombakan besar dalam kebijakan dan kurikulum? Apakah capaian atau setidaknya pelajaran dari Kurikulum Merdeka akan terus dikembangkan, atau justru ditinggalkan? Kegamangan ini menambah kebingungan di kalangan pendidik, sekolah, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dalam sambutannya, Menteri Abdul Mu’ti menyatakan komitmennya terhadap pendidikan yang berkeadilan, berkualitas, dan berakar pada nilai-nilai kebangsaan. Namun hingga hari ini, arah kebijakan konkret masih belum sepenuhnya terlihat. Jika tidak dikelola dengan baik, transisi ini berpotensi menambah ketidakpastian di lapangan, terutama bagi guru dan siswa yang telah mulai beradaptasi dengan sistem sebelumnya.
Ketidaksinambungan: Akar Masalah Pendidikan Kita
Salah satu akar persoalan pendidikan di Indonesia adalah tidak adanya kesinambungan antar kebijakan. Setiap ganti menteri, ganti pula arah dan pendekatannya. Hal ini menciptakan budaya "ganti kulit" tanpa pernah menyentuh akar masalahnya: kualitas guru yang belum merata, ketimpangan antarwilayah, rendahnya literasi dan numerasi dasar, hingga lemahnya ekosistem pendukung seperti orangtua, pemerintah daerah, dan komunitas.
Anies Baswedan pernah menyatakan:
“Masalah pendidikan di Indonesia bukan kurang ide, tapi terlalu banyak ide yang tidak tuntas. Sistem pendidikan seperti sedang naik roller coaster kebijakan.”
Laporan World Bank (2020) juga menggarisbawahi:
“Frequent shifts in curriculum, assessment, and teacher training frameworks have created instability in the system and confusion at the school level.”
Alih-alih memperbaiki yang sudah ada, sering kali reformasi pendidikan dimulai dari titik nol, seolah tak ada pembelajaran dari masa lalu. Akibatnya, pendidikan kita makin menjauh dari semangat awalnya: membebaskan, memberdayakan, dan mencerdaskan.
Menuju Pendidikan yang Berkelanjutan dan Berkeadilan
Untuk keluar dari siklus kebijakan yang membingungkan ini, Indonesia memerlukan peta jalan pendidikan jangka panjang yang disusun secara partisipatif dan dilindungi secara hukum agar tidak mudah diubah oleh pergantian politik. Kebijakan pendidikan tidak boleh menjadi proyek lima tahunan, tetapi harus menjadi proyek peradaban yang melampaui masa jabatan seorang menteri.
Perlu juga ada penguatan kapasitas guru sebagai aktor utama dalam pendidikan. Pelatihan, pendampingan, dan penghargaan atas profesi guru harus menjadi prioritas. Selain itu, sistem pendidikan harus memperkuat peran keluarga dan masyarakat sebagai bagian integral dari ekosistem pendidikan anak.
Untuk mewujudkan pendidikan yang berkeadilan dan bebas dari ketimpangan struktural, kita perlu mengingat bahwa sekolah sering kali tidak hanya berfungsi sebagai tempat pembelajaran, tetapi juga sebagai ruang di mana norma dan disiplin sosial dibentuk. Dalam banyak kasus, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk memperkuat struktur kekuasaan yang ada, di mana siswa diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang ada tanpa ada ruang untuk pemikiran kritis atau perubahan. Di sinilah pentingnya peran guru dan kurikulum yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir secara kritis terhadap struktur sosial mereka.
Sebagaimana dikritisi oleh Michel Foucault:
“Schools serve as instruments of normalization and discipline, embedding power in routine and practice.”
— Michel Foucault, Discipline and Punish
Jika pendidikan tidak dikelola dengan prinsip keadilan sosial, maka ia berisiko menjadi ruang reproduksi ketimpangan—di mana anak-anak dari latar belakang tertentu terus mendapatkan keistimewaan akses, sementara yang lain tetap berada di pinggiran. Maka penting bagi negara untuk menjadikan pendidikan sebagai ruang pembebasan, bukan sekadar pelatihan patuh terhadap sistem yang timpang.
Hal ini sejalan dengan pandangan Paulo Freire, seorang pemikir pendidikan asal Brasil:
“Education either functions as an instrument which is used to facilitate integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity or it becomes the practice of freedom, the means by which men and women deal critically and creatively with reality and discover how to participate in the transformation of their world.”
— Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed
Pendidikan seharusnya menjadi praktik kebebasan—yang memampukan peserta didik berpikir kritis, memahami realitas sosialnya, dan menjadi agen transformasi. Pendidikan yang berkeadilan adalah pendidikan yang tidak memaksa anak menyesuaikan diri dengan sistem yang timpang, tetapi memberi mereka kekuatan untuk memperbaiki dan mengubah dunia di sekitarnya.
Ki Hajar Dewantara, sebagai pelopor pendidikan di Indonesia, juga menegaskan pentingnya prinsip keadilan dalam pendidikan, yang dapat mengarah pada pengembangan setiap individu sesuai dengan potensinya. Ia berkata:
“Setiap anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kodrat dan kodratnya masing-masing.”
— Ki Hajar Dewantara
Kutipan ini mengingatkan kita bahwa pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan potensi unik setiap anak. Dengan demikian, pendidikan yang berkeadilan bukan hanya memberikan kesempatan yang setara bagi semua, tetapi juga memberikan ruang bagi anak untuk berkembang sesuai dengan bakat dan minat mereka. Pendidikan semacam ini harus menjadi dasar dari setiap kebijakan pendidikan di Indonesia.
Penutup: Pendidikan adalah Jalan Panjang
Kini, saatnya kita berhenti sejenak untuk bertanya: ke mana sebenarnya arah pendidikan kita? Apakah kita masih berjalan dalam koridor cita-cita konstitusi, atau justru tersesat di jalan kebijakan yang silih berganti tanpa arah yang pasti? Mari berdiskusi di kolom komentar - IG
Daftar Pustaka / Catatan Kaki:
- Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
- Anies Baswedan. (2016). Pidato di Forum Pendidikan Nasional.
- World Bank. (2020). Indonesia Education Flagship Report.
- Foucault, M. (1975). Discipline and Punish: The Birth of the Prison.
- Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed.